Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rizal Ramli Deja Vu, Khawatir Jokowi Nyungsep Dirayu Sri Mulyani

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Sabtu, 01 Mei 2021, 22:32 WIB
Rizal Ramli Deja Vu, Khawatir Jokowi Nyungsep Dirayu Sri Mulyani
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani/Net
rmol news logo Deja Vu, seakan pernah terjadi dan atau dialami. Itulah yang sedang dirasakan ekonom senior DR. Rizal Ramli demi menyaksikan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait utang luar negeri yang dimotori Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kegemaran Sri Mulyani menumpuk utang dinilai semakin menjadi-jadi. Belakangan, Sri Mulyani menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk menutupi shortfall penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 128,9 triliun.

Dari target sebesar Rp 1.198,82 triliun, realisasi penerimaan pajak tahun lalu hanya sebesar Rp 1.069,9 triliun atau 89,25 persen.

“Ini (kebijakan utang) bisa membuat Mas Jokowi bakal nyungsep ke bawah, ditarik ke bawah oleh SPG IMF, Menkeu Terbalik,” ujar Rizal Ramli pada redaksi Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Sabtu malam, 1/5).

Adalah Sri Mulyani yang dimaksud Rizal Ramli  sebagai Sales Promotion Girl (SPG) dari International Monetary Fund (IMF).

Sementara “Menteri Terbalik” adalah sebutan yang belakangan diberikan kelompok ekonom kerakyatan untuk Sri Mulyani yang dinilai lebih mengedepankan kepentingan lembaga dan/atau negara pemberi utang.

Istilah “Menteri Terbalik” ini juga sindiran untuk gelar “Menteri Keuangan Terbaik” yang diterima Sri Mulyani dari Global Markets yang diterbitkan saat pertemuan sidang tahunan IMF-World Bank Group di tahun 2018 dan 2020.

Praktik utang ugal-ugalan yang sedang terjadi di era Jokowi ini mengingatkan Rizal Ramli pada saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998.

Ketika itu, Soeharto termakan rayuan kelompok ekonom yang dimotori Widjojo Nitisastro untuk mengundang IMF dan menerima resep pemulihan ekonomi yang diajukan IMF. Bukannya memperbaiki perekonomian nasional, resep yang ditawarkan IMF itu malah semakin menciptakan ketergantungan pada pihak asing.

“Akhirnya Soeharto jatuh!” ujar Rizal Ramli lagi.

Mantan Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, dirinya pernah mendengar pengakuan dari mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang dikenal sebagai salah seorang teman dekat Soeharto pada masa menjelasng Reformasi.

“Almarhum Moerdiono mengaku di depan saya dan seorang teman. Dia nyesal dan mengatakan kesalahan terbesar dalam kariernya adalah mengikuti saran Widjojo untuk membujuk Pak Harto mengundang IMF. Gara-gara itu, Pak Harto jatuh,” urai Rizal Ramli lagi.

Rizal Ramli yang juga pernah menjadi panel ekonom PBB membandingkan langkah Soeharto itu dengan langkah Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

Tidak seperti Soeharto, Mahathir Mohamad menolak kehadiran IMF. Penolakan Mahathir itu didasarkan pada saran Deputi Gubernur Bank Negara Malaysia, DR. Zeti Akhtar Aziz.

Karena tidak mengikuti resep perbaikan ekonomi ala IMF, Malaysia dapat melalui krisis ekonomi 1998 dan me-recovery ekonomi nasional dengan cepat. Adapun DR Zeti yang terbukti mengedepankan kepentingan nasional Malaysia diangkat menjadi Gubernur Bank Negara Malaysia di tahun 2000.

"Bukannya memperbaiki perekonomian nasional, resep yang ditawarkan IMF itu malah semakin menciptakan ketergantungan pada pihak asing," ujar Rizal Ramli.

"Jadi (karena ikut saran Widjojo cs) ekonomi Indonesia anjlok dari rata-rata 6 persen ke minus (-) 13 persen. Rupiah anjlok dari Rp 2.500 per dolar AS ke Rp 15.000 per dolar AS, bank-bank rontok, sehingga perlu BLBI 80 miliar dolar AS. Pengangguran naik 40 persen, kerusuhan sosial, akhirnya Soeharto jatuh," tutupnya.

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun juga menyayangkan cara pemerintah menangani kekurangan shortfall penerimaan pajak dengan menerbitkan SUN baru.

Menurut politisi dari Partai Golkar itu, manuver Sri Mulyani ini memperlihatkan tanda-tanda pemerintah mulai kehabisan amunisi fiskal di tahun kedua penanganan pandemi Covid-19.

Per Maret 2021, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 6.445,07 triliun. Dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, yakni sebesar Rp 5.192 triliun, terjadi peningkatan utang sebesar Rp 1.253 triliun.

Apabila besar utang pemerintah di bulan Maret 2021 ini dibandingkan dengan besar utang pemerintah di bulan Februari 2021, yakni sebesar Rp 6.361 triliun, maka terdapat peningkatan Rp 84 triliun. Hanya dalam satu bulan.

Penambahan utang ini membuat rasio utang pemerintah mengalami kenaikan menjadi 41,64 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) bulan lalu.

"Coba kita lihat cara menangani shortfall penerimaan pajak hanya dengan utang. Sampai seberapa kuat daya tahan kita kemudian hanya bersandar ke utang, angka-angka itu hanya mengatasi secara jangka pendek," kata Misbakhun ketika berbicara di webinar yang diselenggarakan Narasi Institute bertajuk “Waspada! Pemulihan Ekonomi Belum Tentu Berlanjut” Jumat kemarin (30/4).

Dalam kesempatan itu, Misbakhun juga khawatir, jual-beli SUN yang dilakukan pemerintah akan menciptakan persoalan baru berupa terganggunya kinerja sektor riil karena SUN dibeli oleh perbankan.

Jadi, alih-alih mengalirkan kredit murah untuk rakyat, perbankan lebih memilih menangguk untung dari belanja SUN. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA