Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tak Sejalan PEN, Penerapan Tarif Baru Di Pelabuhan Tanjung Priok Picu Protes Pelaku Usaha

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Selasa, 13 April 2021, 17:31 WIB
Tak Sejalan PEN, Penerapan Tarif Baru Di Pelabuhan Tanjung Priok Picu Protes Pelaku Usaha
Pelabuhan Bongkar Muat Tanjung Priok/Net
rmol news logo Terbitnya surat edaran tentang penyesuaian tarif pelayanan jasa petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok, terminal PT Jakarta International Container Terminal, dan PT New Priok Container Terminal One memicu protes para pelaku usaha.

Sebab, kebijakan PT Pelindo II (Persero) atau IPC dengan menaikkan
tarif biaya penumpukan (storage) dan biaya pengangkatan kontainer ke truk (lift-on) dinilai tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan biaya logistik.

Selain itu, langkah tersebut dipandang kontraproduktif terhadap program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dilakukan Pemerintah.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi menjelaskan, Pemerintah menargetkan biaya logistik nasional dapat diturunkan dari 23,5% menjadi 17% pada 2024, sebagaimana tercantum dalam Perpres No 18/2020 yang sesuai dengan RPJMN 2020-2024.

Target tersebut juga selaras dengan Inpres No 5/2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional.

"Namun, dengan kenaikan sejumlah pos tarif hingga 39 persen dibandingkan tarif lama, ini akan berdampak langsung pada peningkatan biaya logistik," ucar Rico Rustombi melalui keterangannya di Jakarta, Selasa (13/4).

Selanjutnya, kenaikan tarif di pelabuhan juga akan berdampak luas ke berbagai sektor usaha yang terkait. Hal ini dikarenakan posisi pelabuhan sebagai lini penghubung kegiatan produksi dan perniagaan.

Dengan demikian, perubahan skema tarif di pelabuhan tidak hanya berdampak pada sektor logistik, tapi juga pada sektor industri, kegiatan ekspor-impor, hingga konsumen.

"Kenaikan biaya tersebut dapat berdampak pada peningkatan biaya bahan baku industri, peningkatan harga jual barang jadi, dan penurunan daya saing industri nasional secara umum," jelas Rico.

Selain itu, dia berpendapat momentum kenaikan tarif kali ini kurang tepat. Pasalnya, kondisi perekonomian masih negatif, walaupun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu, perekonomian Indonesia di Kuartal I/2021 diprediksi masih tetap negatif di kisaran -1% hingga -0,1%. Hal senada disampaikan Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia serta sejumlah pengamat ekonomi.

Lebih lagi, pemerintah masih aktif mendorong berbagai stimulus dan insentif fiskal dalam rangka merealisasikan program PEN. Melalui rangkaian kebijakan tersebut, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5% - 5,3% pada 2021 ini.

"Karena itu kenaikan biaya tersebut kontraproduktif terhadap dukungan berupa stimulus dan insentif yang digelontorkan pemerintah melalui program (PEN) yang telah banyak membebani keuangan negara," tegas Rico.

Hal senada disampaikan Ketua Harian Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto. Menurut dia, kebijakan ini diambil tanpa diiringi komunikasi dan sosialisasi yang maksimal.

Seharusnya para pemangku kepentingan sektoral terlibat dalam urun rembug sebelum skema tarif baru dikeluarkan. Alhasil muncul reaksi dari Kadin Indonesia, dan ALI.

"Jumlah asosiasi terkait sebagai pengguna dan pelaku kegiatan logistik yang diajak bicara terkait rencana kenaikan tarif sangat minim," ungkap Mahendra.

Lebih lanjut, Mahenda menguraikan, kenaikan tarif yang terjadi mencakup biaya penumpukan (storage) berbasis waktu (hari) dan ukuran (20 ft & 40 ft). Kenaikan pada setiap pos tarif berkisar antara 7% sampai 39%. Selain itu, terdapat kenaikan biaya pengangkutan kontainer ke truk (handling/lift-on)

"Untuk handling kontainer ukuran 20 ft naik dari Rp 187.500 menjadi Rp 285.500. Sedangkan untuk ukuran 40 ft naik dari tarif lama Rp 281.300 menjadi Rp 428.250," rinci Mahendra.

Dia berharap IPC dan kementerian terkait bisa mengevaluasi kebijakan yang baru dikeluarkan hari ini, Selasa (13/4).

Hal ini karena skema tarif baru tersebut tidak hanya membebani dunia usaha, tetapi juga akan berdampak langsung pada sektor-sektor lainnya yang berujung pada terhambatnya pemulihan ekonomi nasional yang tengah terpukul oleh pandemi Covid-19.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, juga menyatakan keberatannya atas kebijakan tersebut.

“Kami tidak melihat urgensi maupun manfaat menaikkan tarif tersebut. Sementara di sisi lain sudah jelas akan menambah beban biaya logistik yang harus ditanggung oleh pengusaha. Ini bagaikan jatuh tertimpa tangga, di saat umumnya pengusaha repot berusaha bertahan menghadapi pandemi malah dibebani dengan kenaikan biaya logistik,” tutur Benny.

Harapan Benny, pemerintah dan IPC dapat bersikap bijak dengan membatalkan kenaikan tarif ini. Nanti di saat yang tepat setelah ekonomi pulih kembali, barulah hal ini dapat dikaji dan didiskusikan kembali oleh seluruh pihak pemangku kepentingan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA