Dimensy.id
Apollo Solar Panel

OJK: Ada Tiga Faktor Fintech Dan Investasi Abal-abal Masih Marak Di Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Selasa, 13 April 2021, 11:18 WIB
OJK: Ada Tiga Faktor Fintech Dan Investasi Abal-abal Masih Marak Di Indonesia
Ilustrasi/Net
rmol news logo Maraknya fintech dan invetasi abal-abal telah meresahkan masyarakat. Meski telah menelan banyak korban dengan kerugian yang tidak sedikit, fintech dan investasi ilegal justru masih menjamur.

Menurut Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat fintech dan investasi ilegal masih marak di Indonesia.

"Pertama, dari sisi masyarakat yang secara umum tingkat literasi keuangannya itu relatif rendah," ujar dia dalam webinar Infobank pada Selasa (13/4).

Tirta menyebut, berdasarkan survei pada akhir 2019, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya 38 persen, sementara akses keuangannya mencapai 76 persen.

Meskipun saat ini tingkat literasi sudah meningkat, namun masih tertinggal dengan akses keuangan yang lebih tinggi.  

Bahkan untuk literasi pasar modal dan produk investasi hanya mencapai 5 persen. Di mana banyak masyarakat tidak memahami berbagai konsep mengenai investasi.

"Mereka tidak paham dengan korelarsi antara risiko dengan imbal hasil atau konsep high risk-high return. Dengan mengesampingkan high risk-high return tadi, masyarakat seringkali terbuai dengan janji bunga tinggi, imbal hasil tinggi tanpa risiko," jelas dia.

Selain itu, Tirta mengatakan, faktor kedua yang membuat fintech dan investasi abal-abal masih beredar adalah adanya oknum yang tidak bertanggung jawab berupaya memanfaatkan kemajuan teknologi.

Dengan kemajuan teknologi, fintech dan invetasi ilegal semakin mudah bermunculan. Meski sebenarnya Satgas Waspada Investasi (SWI) telah bekerja dengan menutup ribuan fintech dan investasi ilegal, namun lebih banyak lagi yang bermunculan.

"Dengan kemajuan teknologi, pembuatan atau replikasi situs penipuan, dengan ilustasi yang sangat menarik, bahkan menampilkan tokoh-tokoh yang sangat populer atau influence ini menjadi sangat mudah dan murah," ucap Tita.

Terlebih lagi, ia melanjutkan, para fintech tersebut tidak memerlukan kantor fisik.

"Beberapa modus yang kita temukan, mereka itu yang abal-abal tadi hanya sewa satu ruko, tapi lingkup operasinya bisa sangat luas di berbagai daerah," imbuhnya.

Bahkan, terdapat server fintech yang berada di luar wilayah Indonesia yang membuat otoritas sulit melakukan tindakan hukum.

Di samping itu, faktor terakhir yang membuat fintech dan investasi abal-abal masih diganderungi adalah perilaku sekelompok masyarakat yang kurang bijak.

"Ada yang ingin cepat kaya atau ingin mendapatkan keuntungan besar tapi tidak melalui kerja keras," kata Tirta.

Berdasarkan temuan OJK, korban fintech dan investasi ilegal bukan hanya mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Tetapi banyak yang sudah sarjana, menempuh S2 bahkan memiliki gelar yang lebih tinggi.

Selain itu, ada juga masyarakat yang tidak bijak, kurang berhati-hati, tidak berpikir panjang dengan meminjam di luar batas kemampuan.

"Sepertinya memang mudah, setiap saat bisa cair, tinggal disentuh jari, tanpa syarat ini itu, tapi sebenarnya menjebak," tegas Tirta. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA