Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Vaksinasi Gotong Royong: Pro-Kontra, Kebingungan, Makelar, Geopolitik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Minggu, 28 Februari 2021, 12:30 WIB
Vaksinasi Gotong Royong: Pro-Kontra, Kebingungan, Makelar, Geopolitik
Ilustrasi
rmol news logo Pemerintah telah menyetujui usulan Kadin Indonesia agar kalangan industri diberikan keleluasaan untuk melakukan pengadaan vaksin Covid-19 bagi karyawan perusahaan dan keluarganya. Pendanaan program yang diberi label ‘vaksinasi gotong royong’ atau ‘vaksinasi mandiri’ itu ditanggung oleh masing-masing perusahaan.

Program itu telah memicu pro-kontra yang sengit di kalangan ahli dan pegiat kesehatan. Epidemiolog Pandu Riono bersama sosiolog Sulfikar Amir dan pakar kesehatan masyarakat Irma Hidayana membuat petisi yang meminta pemerintah membatalkan vaksinasi mandiri.

Menurut petisi tersebut, vaksinasi mandiri justru menjadikan akses pada vaksinasi berdasarkan kemampuan ekonomi dan afiliasi dengan korporasi swasta. Padahal, lazimnya di seluruh dunia, penyediaan vaksin merupakan tanggungjawab negara dan semua warga mendapatkan akses yang setara dalam memperoleh vaksinasi.

“Ini tidak bisa dibenarkan,” tegas pengantar petisi itu di  laman change.org.

Hingga Minggu pagi (28/2), petisi tersebut telah ditandatangani  2.262 pendukung.

Sulfikar Amir, salah satu penggagas petisi, menyatakan bahwa Permenkes Nomor 10/2021 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan vaksinasi mandiri tidak mengatur secara ketat distribusi vaksin kepada setiap karyawan dan keluarga perusahaan yang mengikuti vaksin mandiri.

“Di situ ada potensi kebocoran,” jelas sosiolog bencana pada Nanyang Technological University (NTU) Singapura tersebut.

Selain kritik, dukungan terhadap pelaksanaan vaksin mandiri juga muncul dari berbagai kalangan.

“Pada prinsipnya, vaksinasi mandiri dapat mengurangi budget yang harus dikeluarkan pemerintah dalam penyediaan vaksin. Tapi, akan lebih baik lagi jika kalangan industri mendukung inovasi bagi penciptaan vaksin di dalam negeri,” kata Yudi Mulyana Hidayat, Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD.

Kebingungan

Seorang pegiat asosiasi industri yang tak bersedia disebutkan namanya menyatakan kepada Kantor Berita Politik RMOL bahwa awalnya mereka ragu dengan inisiatif Kadin Indonesia meminta dukungan perusahaan-perusahaan untuk program vaksinasi gotong royong tersebut. Apalagi, perusahaan juga diminta menyerahkan  data karyawan untuk mengidentifikasi kebutuhan vaksin.

“Kami masih mempertimbangkan dampak kepada reputasi industri, karena belakangan banyak  muncul berita mengenai crazy rich yang bisa memperoleh vaksinasi lebih awal. Ditengarai dengan menyerobot jatah vaksin tenaga kesehatan,” ujarnya.

Sebagian perusahaan memilih menunda untuk merespon permintaan Kadin hingga Kementerian Kesehatan meluncurkan Permenkes Nomor 10/2021 yang mengatur berbagai aspek dalam vaksinasi mandiri.

Meski demikian, keluarnya peraturan itu tak menjawab seluruh keingintahuan perusahaan. Bahkan, ada  pula kebingungan baru.  Teknis pemberian data karyawan dari perusahaan-perusahaan, misalnya, belum diinformasikan secara rinci.

“Data ini akan diserahkan langsung ke Kemenkes atau dikoordinir Kadin? Hotline Kadin belum bisa memberikan jawaban yang jelas,” keluh  pegiat asosiasi industri tersebut.

Ia mengkritik  Kadin Indonesia yang seolah mencapai klimaks perjuangan setelah keluarnya Permenkes tersebut. Padahal, persoalan-persoalan teknis yang muncul setelah itu, mustinya harus diantisipasi dengan lebih baik.

Meski demikian, dia mengakui bahwa vaksinasi mandiri merupakan pilihan yang masuk akal karena realisasi pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan pemerintah cenderung lambat. Industri, katanya, tak bisa terlalu lama menunggu vaksinasi agar dapat menopang pemulihan ekonomi.

Menurut Shinta Kamdani, Wakil ketua Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional, hampir 7000 perusahaan menyatakan berminat pada program vaksin gotong royong. Perusahaan yang tertarik mengadakan vaksin secara mandiri itu berasal dari berbagai sektor, mulai dari manufaktur, perbankan, transportasi,dan padat karya.

“Angka itu menunjukkan antusiasme yang tinggi,” ungkapnya dalam sebuah dialog radio baru-baru ini.

Lahan Bisnis Vaksin

Setelah keluarnya Permenkes Nomor 10/2021, berbagai kabar mengenai calon vaksin yang digunakan untuk program vaksinasi mandiri pun menyeruak di media massa.

Pemerintah telah menggunakan vaksin Sinovac untuk program vaksinasi secara nasional yang telah dimulai dalam beberapa minggu terakhir. Namun, untuk program vaksinasi mandiri, pemerintah membuka penggunaan vaksin-vaksin lain.

Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim dan Investasi, menyatakan bahwa pemerintah melalui sebuah BUMN Farmasi, akan menggandeng Sinopharm, BUMN RRC yang memproduksi vaksin, dalam penyediaan vaksin untuk program vaksinasi gotong royong. Meski demikian, jumlah vaksin Sinopharm disebut-sebut masih jauh di bawah angka yang dibutuhkan industri.

Seorang mantan eksekutif perusahaan farmasi multinasional yang memproduksi vaksin Covid-19 menyatakan banyak pebisnis Indonesia yang mencoba menghubungi pihaknya untuk menanyakan kemungkinan mereka menjadi distributor vaksin. Kebutuhan vaksin untuk kalangan industri telah menciptakan lahan bisnis baru yang nilainya bisa mencapai trilyunan rupiah.

Kebijakan pemerintah untuk membuka kran pengadaan vaksin secara mandiri itu menjadi peluang bagi pengusaha yang ingin berperan sebagai “makelar” atau penghubung antara produsen vaksin multinasional dan konsumen vaksin di dalam negeri.
 
Sinyalemen ini tentu patut dicermati oleh para pengkritik vaksinasi mandiri yang sejak awal telah mengkampanyekan tentang potensi “kebocoran” dalam kebijakan pemerintah.

Vaksin Rusia

Selain munculnya nama Sinophram sebagai salah satu vaksin untuk  program vaksinasi gotong royong, muncul   pula nama Modena dan Sputnik-V. Bahkan, vaksin Sputnik-V saat ini  sudah memiliki distributor resmi di Indonesia, yakni sebuah perusahaan farmasi yang bekantor di bilangan Jl. Raden Saleh, Jakarta.

Menurut informasi yang beredar, Sputnik-V sedang mengurus proses perijinan, khususnya ijin edar dari BPOM dan Kemenkes, yang diharapkan selesai dalam beberapa minggu ke depan.

Menurut Khoirul Rosyadi, pengamat Rusia dari Universitas Trunojoyo Madura, penggunaan Sputnik-V untuk vaksinasi gotong royong dapat menggurangi ketergantungan Indonesia pada vaksin-vaksin produksi RRC. Hal tersebut dinilai positif dari segi hubungan internasional.

“Soal belanja vaksin kan juga soal perimbangan kekuatan geopolitik. Indonesia bisa menunjukkan bahwa kebijakan kita tak sepenuhnya sami’na waatho’na pada RRC seperti yang sering dikritik banyak orang,” ujar alumnus RUDN Moskow tersebut.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA