Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masih Bingung Dengan SWF Indonesia, Pakar: Apakah Pasar Bisa Percaya Dengan Pemerintah Yang Korupsi?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Senin, 04 Januari 2021, 13:45 WIB
Masih Bingung Dengan SWF Indonesia, Pakar: Apakah Pasar Bisa Percaya Dengan Pemerintah Yang Korupsi?
Menteri Keuangan Sri Mulyani/Net
rmol news logo Sebuah gagasan yang sangat ambisius tengah digodok oleh pemerintah Indonesia, yaitu membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang akan mengelola sovereign wealth fund (SWF) atau dana kekayaan negara.

LPI sendiri merupakan salah satu implementasi dari Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah disahkan tahun lalu. Berdasarkan PP No. 73/2020, LPI memperoleh dukungan modal awal sebesar Rp 15 triliun.

Pemerintah sendiri bertujuan untuk mengumpulkan 15 miliar dolar AS sebagai SWF, dengan 5 miliar dolar AS di antaranya dalam bentuk tunai dan saham di BUMN.

Sesuai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, investor sendiri memiliki fleksibilitas untuk berinvestasi di banyak portofolio, termasuk sektor listrik, jalan tol, hingga kesehatan.

Meski tampak sudah matang, tetapi sebuah seorang pakar ekonomi Asia Tenggara, James Guild mengaku masih memiliki banyak pertanyaan terkait gagasan tersebut.

Dalam artikel opininya yang dipublikasi di The Diplomat, Guild mengatakan, SWF adalah ide yang sangat ambisius yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawabannya.

Mengutip opini Vincent Linggi di The Jakarta Post, Guild mempertanyaan kepercayaan pasar internasional terhadap SWF Indonesia, di mana masih banyak pejabat yang melakukan korupsi.

"Pertanyaan miliaran dolar adalah apakah pasar internasional dapat memiliki kepercayaan pada SWF yang diluncurkan oleh pemerintah dengan korupsi yang relatif tinggi, defisit fiskal dan defisit minyak, rasio pajak kurang dari 11 persen, serta beban utang dalam dan luar negeri yang berat?" tanyanya.

Pasalnya, menurut Guild, desain yang diusulkan oleh Indonesia sangat berbeda dengan yang diharapkan. Bisanya, SWF sendiri akan tercipta dari negara-negara yang mengalami surpus besar, seperti Norwegia yang kaya akan minyak atau Singapura yang memiliki raksasa industri.

Temasek Holding Singapura misalnya. Itu adalah raksasa industri yang didanai oleh cadangan devisa negara. Dengan lebih dari 300 miliar dolar Singapura dalam pengelolaan aset, Temasek memiliki investasi di banyak hal. Sebut saja Telkomsel. Melalui Singtel, Temasek diketahui memiliki saham tidak langsung di perusahaan telekomunikasi raksasa Indonesia itu.

Temasek juga memegang saham mayoritas di sejumlah besar aset domestik, seperti Singapore Airlines, CapitaLand, dan MediaCorp.

"Temasek bukan hanya raksasa perusahaan di dalam negeri, tetapi menyebarkan surplus Singapura ke luar negeri untuk menciptakan nilai lebih bagi negara. Ini jelas model yang ingin ditiru Indonesia," tulis Guild.

Sayangnya, menurut Guild, Indonesia tidak memiliki surplus yang dapat diinvestasikan. Terlebih, proposal Indonesia sendiri bukan merupakan SWF dalam pengertian tradisional, tetapi negara meminta investor mengelola uang mereka.

"Tetapi mengapa investor tidak lebih baik dilayani hanya dengan membeli obligasi atau saham di BUMN perorangan, seperti perusahaan jalan tol milik negara Jasa Marga? Manfaat apa yang bisa didapat dari menciptakan gurita finansial labirin ini yang, bahkan sebelum ia muncul, sudah membingungkan orang? Saya dapat memikirkan dua alasan," lanjut Guild.

Alasan tersebut adalah pemerintah dan BUMN semakin mengkhawatirkan tingkat utang yang ada.

Selama jabatan pertama Presiden Joko Widodo, banyak uang yang dikumpulkan di pasar modal oleh BUMN dan dana khusus lainnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Itu membuat pemerintah akhirnya menambah utang yang cukup banyak.

Alasan kedua menurut Guild sendiri mengutip penjelasan akademisi Jeffrey M. Chwieroth. Dia berpendapat bahwa penyebaran SWF seperti halnya tren. Satu negara melihat kekuatan politik dan ekonomi dari SWF negara lain, dan mereka ingin menirunya.

"Saya menduga motivasi Indonesia kemungkinan berasal dari campuran keduanya," ucap Guild. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA