Begitulah yang diungkapkan Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/9).
"Menurut saya kalau dilihat dari sisi itu relatif kecil (efektifitasnya). Pertama nilainya itu (sekitar) Rp 15 triliun, jauh lebih kecil dari anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang disediakan pemerintah," ujar Tauhid.
Disamping itu, Tauhid juga memandang, dinamika ekonomi diperhelatan pilkada tahun ini jauh berbeda dengan yang diselenggarakan bukan di saat pandemi Covid-19.
Karena di saat penyelenggaraan pilkada sebelum-sebelumnya, para pasangan calon (Paslon) memiliki keleluasaan dalam mengumbar anggarannya untuk kepentingan kampanye.
"Dia belanja tidak lagi kaya zaman dulu, untuk konsumsi, makan-makan, bikin kaos dan segala macam. Sekarang banyak digitalisasi yang itu tidak lari ke sektor-sektor produktif, karena dia akan lari beli pulsa, membeli konten untuk sosialisasi melalui webinar dan sebagainya," terangnya.
Oleh karena itu, Tauhid memandang kontribusi ekonomi dipenyelenggaraan pilkada tahun ini akan kecil dirasakan masyarakat.
Dia pun menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang lebih taktis, jika pun ingin memperbaiki perekonomian masyarakat.
Di mana kebijakan itu adalah menerapkan lockdown yang dibarengi dengan meningkatkan nilai bantuan langsung tunai (BLT) untuk masyarakat yang semula Rp 600 ribu per bulan per kepala keluarga selama 6 bulan menjadi Rp 1,5 juta.
"Kalau yang mengacu kepada negara-negara yang berhasil melakukan lockdown di triwulan pertama. Dan sekarang ekonominya recoverynya bagus ya karena bantuannya juga signifikan. Dan otomatis lockdown itu memang diperlukan dengan peningkatan BLT itu," demikian Tauhid Ahmad.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.