"Kalau kita menyebutnya
triple shock,†kata Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini dalam rapat kerja bersama Komisi VII, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/8).
Emma menjelaskan faktor pertama meruginya Pertamina karena adanya penurunan permintaan pasar. Hal ini jauh berbeda dari kondisi krisis sebelumnya yang dihadapkan dengan tekanan nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah.
“
Demand-nya sekarang yang berdampak signifikan pada
revenue kita. Kondisi ini bahkan lebih berat dari kondisi
financial crisis,†katanya.
Nilai tukar rupiah menjadi faktor kedua. Pasalnya, laporan keuangan secara fundamental di Pertamina merujuk pada pembukuan dengan nilai mata uang dolar Amerika Serikat. Hal itu menyebabkan komposisi rugi kurang lebih 30-40 persen dari kerugian Pertamina.
“Yang ketiga ini terkait dengan
crude. Dengan melemahnya
crude price di
second quarter menyentuh angka 19 sampai 20 dolar AS perbarel pak. Dibandingkan posisi Desember 2019 63 dolar AS perbarel kita sangat terdampak sekali pada
margin hulu. Padahal
margin hulu penyumbang atau kontributor ebitda terbesar 80 persen,†tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: