Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Petani Sawit Semakin Tertekan, Presiden Jokowi Harusnya Tidak Selalu Turuti Sri Mulyani

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Sabtu, 30 Mei 2020, 12:56 WIB
Petani Sawit Semakin Tertekan, Presiden Jokowi Harusnya Tidak Selalu Turuti Sri Mulyani
Petani kepala sawit/Net
rmol news logo Kehidupan petani sawit di tengah pandemik Covid-19 semakin berat dengan kebijakan yang dibuat Menteri Keuangan Srimulyani terkait pungutan ekspor CPO dengan mengunakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang baru dikeluarkan tentang tarif pungutan ekspor CPO dan turunan.

Begitu juga dengan ekspor biji sawit, kernel, dan cangkang. Semuanya dikenakan pungutan ekspor yang sifat fix dan tidak berpatokan pada harga ekspor yang selama ini ditentukan jika terkena pungutan ekspor.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Arief Poyuono dalam keterangnnya kepada Kantor berita Politik RMOL, Sabtu (30/5).

"Dan terbitnya PMK baru tentang tarif pungutan BPDPKS No. 57/PMK.05/2020 yang menggantikan PMK sebelumnya, ini produk PMK penghancuran industri perkebunan sawit di saat Covid-19," ujar Arief Poyuono.

Mengacu PMK pungutan ekspor yang lama, pengenaan tarif pungutan ekspor didasarkan pada harga ekspor CPO dunia. Jika di bawah 570 dolar AS perton tidak dikenakan, harga 570 hingg 619 dolar AS perton dikenakan 25 dolar, di atas 619 dolar AS perton dikenakan 50 dolar AS.

"Dan pada PMK baru yang dikeluarkan di saat Covid-19 untuk menyelamatkan industri Biodiesel B30 milik para konglomerat yang terkapar karena harga crude fosil oil yang turun draktis akibat Covid-19, maka pungutan ekspor CPO dan turunannya dikenakan secara fixed sebesar 55 dolar AS berapapun harga ekspor CPO pertonnya," terang Arief Poyuono.

Begitu juga pungutan ekspor secara fix pada produk kernel, cangkang sawit, dan biji sawit, juga dikenakan pungutan ekspor hingga 25-15 dolar perton.

"PMK baru berlaku mulai 1 Juni 2020. Bakalan makin membuat kemiskinan dan penderita petani sawit plasma dan mandiri yang sudah terdampak Covid-19 dengan jatuhnya harga CPO dunia akibat turunnya permintaan ekspor dari China, India dan negara lainnya," tutur Arief Poyuono.

Begitu juga ancaman kredit macet akan semakin tinggi di sektor industri perkebunan sawit dan petani plasma. Sudah ratusan perusahaan pekerbunan sawit selama pandemik berstatus call 2 di bank karena tidak sanggup membayar pokok dan bunga pinjaman. Juga, jutaan petani plasma yang sudah banyak nunggak bayar kredit plasma dan meningkatnya PHK buruh di sektor industri perkebunan sawit.

"Nah, kalau sudah begini. Jelas sudah kayanya ada skenario penghancuran industri perkebunan kelapa sawit oleh Menkeu untuk menyelamatkan program B30 yang selama ini kurang berhasil dan banyak masalah penggunaannya di mesin-mesin pembangkit PLN," ucap Arief Poyuono.

Karena itu, hemat Arief Poyuono, Presiden Joko Widodo harus memanggil Menkeu untuk membatalkan PMK baru tentang tarif pungutan BPDPKS No. 57/PMK.05/2020 yang menggantikan PMK sebelumnya.

Pasalnya, jika diteruskan maka andalan komoditas ekspor Indonesia ini akan turun draktis dan berefek pada perekonomian di daerah. Dimana industri sawit saat ini adalah satu satunya usaha yang paling kuat menopang dampak anjloknya perekonomian Indonesia akibat Covid-19.

"Kangmas Joko Widodo jangan selalu mau nuruti kebijakan-kebijakan Sri Mulyani kalau mau ekonomi kita selamat loh," demikian Arief Poyuono. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA