Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Wanti-wanti Pemerintah, Peneliti: Tanda-tanda Resesi Sudah Di Depan Mata

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Kamis, 19 Maret 2020, 23:13 WIB
Wanti-wanti Pemerintah, Peneliti: Tanda-tanda Resesi Sudah Di Depan Mata
Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Joko Widodo/Net
rmol news logo Gangguan rantai suplai global, melemahnya permintaan dan layanan ekspor-impor, serta menurunnya aktivitas bisnis di berbagai negara karena penyebaran virus corona (Covid-19) merupakan faktor yang berkontribusi pada terjadinya resesi.

Melihat berbagai dinamika ini, target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,3% pun dirasa akan sulit tercapai.

“Jika melihat ke belakang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 lalu hanya berada pada level 5,02%. Angka ini turun dari capaian pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang menyentuh level 5,17%,” kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/3).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal pertama di tahun 2020 bahkan sudah diakui Menkeu Sri Mulyani terkoreksi ke level 4,8% - 4,9%. Atas dasar itu, Pingkan berpandangan ada empat hal yang perlu menjadi catatan pemerintah untuk menghadapi ancaman resesi yang semakin nyata. Pertama adalah stimulus fiskal.

“Hal ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif jangka panjang dari perlambatan ekonomi global yang saat ini tengah berlangsung. Hingga saat ini pemerintah telah memberikan dua paket stimulus fiskal,” katanya.

Pemerintah, kata dia, setidaknya sudah akan menyiapkan paket stimulus jilid III yang mencakup aspek kesehatan, perlindungan sosial, serta upaya menjaga kinerja pelaku usaha.

Selain stimulus di tingkat nasional, koordinasi di tataran global untuk memberikan stimulus juga sangat dibutuhkan. Berdasarkan pengalaman saat krisis keuangan global 2008 yang lalu, stimulus fiskal yang diberikan oleh G-20 berjumlah sekitar 2% dari PDB, setara lebih dari 900 miliar dolar AS di tahun 2009.

“Kebijakan moneter yang melibatkan bank sentral perlu memperhatikan aliran kredit yang dapat tersalurkan ke sektor ekonomi riil. Di masa krisis seperti saat ini, intervensi valuta asing dan langkah-langkah manajemen aliran modal dapat bermanfaat melengkapi tingkat suku bunga dan tindakan kebijakan moneter lainnya. Terlebih rupiah kini melemah," sambungnya.

Berikutnya adalah perlunya regulasi yang tanggap terhadap dinamika perekonomian. Pengawasan sistem keuangan harus mengedepankan keseimbangan antara menjaga stabilitas keuangan, menjaga kesehatan sistem perbankan, dan meminimalisir dampak negatif perekonomian.

Harmonisasi kebijakan pusat dengan daerah juga perlu dilakukan. Hal ini krusial mengingat jumlah penduduk Indonesia banyak dan tersebar di 34 provinsi. Koordinasi dan harmonisasi perlu untuk menjamin kesiapan segala pihak, termasuk masyarakat dalam memitigasi dampak negatif dari pandemik Covid-19.

“Faktor kesehatan tentu menjadi fokus utama, namun perlu diingat pula bahwa karakteristik masyarakat di daerah satu dan lainnya berbeda sehingga penyesuaian kebijakan di sektor lain seperti ekonomi juga berdampak pada kemaslahatan hidup banyak orang,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA