Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Harga Minyak Dunia Turun, Pemerintah Diminta Menyesuaikan Tarif BBM Dan Setop Biosolar B30

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Rabu, 18 Maret 2020, 11:22 WIB
Harga Minyak Dunia Turun, Pemerintah Diminta Menyesuaikan Tarif BBM Dan Setop Biosolar B30
Bambang Haryo Soekartono/Net
rmol news logo Pemerintah diminta segera menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) baik subsidi maupun nonsubsidi, menyusul penurunan harga minyak dunia untuk membantu sektor riil menghadapi krisis ekonomi akibat dampak virus corona (Covid-19).

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono menegaskan, harga energi khususnya bahan bakar minyak harus segera disesuaikan dan ditetapkan secara transparan.

"Selama ini biaya logistik Indonesia tinggi, salah satu penyebab adalah tidak ada transparansi harga BBM. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan harga barang menjadi lebih mahal," kata mantan anggota DPR ini, Rabu (18/3).

Menurut Bambang Haryo, sektor riil saat ini semestinya menikmati harga energi yang lebih murah seiring dengan merosotnya harga minyak dunia hingga di atas 50 persen menjadi di bawah 30 dolar AS per barel.

"Seharusnya harga BBM turun baik yang subsidi maupun nonsubsidi. Dalam ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini akibat Covid-19, harga energi yang murah bisa menjadi stimulus bagi sektor riil supaya ekonomi bergerak," ucap dia.

Bambang Haryo juga mendesak pemerintah tidak memaksakan lagi penggunaan biosolar B30 dengan dalih untuk menurunkan biaya impor yang signifikan, apalagi ketika harga BBM lebih murah. Selain tidak signifikan memangkas impor migas, B30 justru dapat menghambat logistik dan membahayakan keselamatan transportasi.

Mengutip data BPS, papar Bambang Haryo, adapun impor migas senilai 29,81 dolar AS miliar dibandingkan dengan total impor nonmigas yang tercatat 158 miliar dolar AS itu kurang dari 20 persen, yakni sekitar 18 persen. Sehingga porsi impor solar terhadap impor total migas dan nonmigas hanya 1,6 persen.

Padahal jumlah substitusi impor bahan bakar solar dibanding kelapa sawit hanya 30 persen dari 1,6 persen atau sekitar 0,5 persen dari total biaya impor migas dan nonmigas. Berarti dampak biodiesel untuk penghematan biaya devisa impor sangat kecil.

"Sektor transportasi sendiri hanya menggunakan sekitar 50 persen dari impor solar itu. Berarti nilainya lebih kecil lagi sehingga tidak signifikan mengurangi impor migas untuk menghemat devisa,"  jelas Bambang Haryo.

Dia mengingatkan Presiden Joko Widodo agar mengecek kembali informasi yang disampaikan para pembantunya bahwa B30 bisa mengurangi impor secara signifikan dan menghemat devisa hingga Rp 63 triliun.

"Presiden harus tahu dampak buruk B30 terhadap sektor transportasi dan industri, jangan mau menerima begitu saja informasi BS (asal bapak senang) bahwa B30 mengurangi impor migas dan menghemat devisa," ujarnya.

Hingga saat ini negara-negara lain yang menerapkan biosolar masih di bawah B10, seperti Argentina dan China maksimal B7, bahkan Malaysia, Australia dan Kanada hanya menerapkan B5. Mereka mampu memproduksi B30, tetapi tidak gegabah karena B30 sangat rentan menyebabkan kerusakan mesin alat transportasi.

"Muncul viskositas lebih dan slag yang tinggi, nozel dan filter injector mesin menjadi cepat rusak, sehingga mesin dapat gagal berfungsi. Kapal mogok di tengah laut akibat mesin mati bisa mengakibatkan perubahan stabilitas negatif dan berujung terjadinya tenggelam. Kejadian ini pernah dialami KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006," ungkap Bambang Haryo, yang pernah menjadi senior investigator KNKT.

Oleh karena itu, Ketua Dewan Pembina Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) ini menolak mandatory B30 untuk sektor transportasi. Apabila tetap dipaksakan, akan terjadi kerusakan alat transportasi secara massal sehingga angkutan publik dan logistik lumpuh serta marak kecelakaan. Ekonomi nasional pun semakin terpuruk.

"Pemerintah jangan mengobankan sektor transportasi dan ekonomi nasional, bahkan nyawa publik, untuk mengakomodasi kepentingan konglomerat kelapa sawit dengan tidak realistis meningkatkan kandungan biodiesel pada solar menjadi di atas 30 persen bahkan 100 persen. Itu tidak masuk akal dan berbahaya," tegasnya.

Bambang Haryo juga mempertanyakan subsidi biodiesel Rp 10,3 triliun kepada 19 perusahaan sawit pada 2017. Berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, lima perusahaan sawit terbesar menerima 76,87 persen dari dana itu atau Rp 7,92 triliun dan sisanya untuk 14 perusahaan lainnya.

"Seharusnya subsidi itu diberikan kepada perusahaan transportasi yang dirugikan akibat B30 karena banyak dan seringnya mesin yang di overhaul, tentu membutuhkan SDM yang berjumlah besar padahal jumlahnya terbatas apalagi adanya wabah virus corona. Jadi bukan pengusaha kelapa sawit yang mendapatkan subsidi," tegasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA