Dimensy.id
Apollo Solar Panel

BPK dan Menkeu Berbeda Soal Risiko Sistemik Jiwasraya, Ini Kata Pakar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Selasa, 28 Januari 2020, 12:03 WIB
BPK dan Menkeu Berbeda Soal Risiko Sistemik Jiwasraya, Ini Kata Pakar
Ilustrasi/Net
rmol news logo Apakah kasus pembobolan dana nasabah Jiwasraya memiliki risiko sistemik atau tidak? Tentu seru jika diperdebatkan. Menariknya, perbedaan pendapat seputar risiko sistemik kasus Jiwasraya itu awalnya terjadi pada level pengambil kebijakan.

Adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna, pada Rabu (8/1) yang pertama kali menyatakan bahwa kasus Jiwasraya, karena saking besarnya (berskala gigantik), mengandung risiko sistemik. Kasus Jiwasraya dianggap berpotensi mengganggu sistem keuangan. Karena itu, kata Agung, setiap pengambilan kebijakan harus dilakukan secara hati-hati.

Namun, sinyalemen mengenai risiko sistemik itu ditepis Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan menyitir UU No 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Salah satu klausul dalam peraturan itu, kata Sri, menunjukkan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank dan bukan asuransi. Sebab, bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

"….apabila dia (sebuah bank) gagal, dapat berakibat keseluruhan sistem perbankan dan jasa keuangan ikut terancam gagal. Itu (yang) kita gunakan sebagai rambu-rambu menetapkan apakah suatu persoalan di sektor keuangan atau jasa keuangan berdampak sistemik atau tidak," kata Sri Mulyani dalam rapat Komite Stabilisasi Sektor Keuangan (KKSK) di Jakarta, Rabu (22/1).

Terkait dengan silang pendapat dua pengambil kebijakan tersebut, pakar keuangan asal Telkom University Bandung, Farida Titik Kristianti, mengingatkan bahwa risiko sistemik semestinya juga dilihat dari potensi nyata yang mungkin ditimbulkan oleh kasus gagal bayar nasabah Jiwasraya terhadap sektor atau aktor perekonomian yang lain. Dalam konteks itu, Jiwasraya dinilai memiliki risiko sistemik.

Farida menjelaskan bahwa kasus gagal bayar nasabah Jiwasraya dapat menumbuhkan distrust (ketidakpercayaan) di kalangan nasabah asuransi secara umum sehingga berpotensi merugikan industri asuransi. Apalagi, banyak nasabah menempatkan dananya pada asuransi-asuransi BUMN karena percaya bahwa pada perusahaan-perusahaan milik negara itu, dana mereka lebih terjaminan keamanannya.

"Tentu, publik ada yang berpikir, jika dana yang mereka parkir di asuransi milik negara saja kurang terjamin keamanannya, musti percaya siapa lagi?," ujar penulis buku "Financial Distress (Tekanan Keuangan) di Indonesia" itu, Selasa (28/1).

Menurut Farida, berlarut-larutnya penyelesaian masalah Jiwasraya juga berisiko menurunkan kepercayaan pasar terhadap penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan. Selama ini, janji para petinggi Jiwasraya maupun pejabat pemerintah terkait waktu pencairan polis nasabah, seperti diakui beberapa wakil nasabah, kerap mengalami penundaan. Untuk menghindari risiko lebih lanjut, Farida menyarankan pemerintah bertindak cepat dengan rencana yang terukur.

"Seharusnya ada tenggat waktu penyelesaian yang singkat. Misalnya, sampai pertengahan tahun ini seluruh uang nasabah sudah terganti. Pemerintah juga harus segera mengimplementasikan skenario penyelamatan Jiwasraya, misalnya dengan suntikan dana dari BUMN-BUMN lainnya," tandas Farida. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA