Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelet Kayu, Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Kecil

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Senin, 27 Januari 2020, 12:15 WIB
Pelet Kayu, Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Kecil
Uji coba kompor pelet kayu di Desa Pada Asih, Subang/Istimewa
rmol news logo Ati Rohaeti tampak semringah saat mencoba kompor dengan bahan bakar pelet kayu. Warga Desa Pada Asih, Kampung Cipancuh, Kelurahan Padaasih, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang ini telah menemukan solusi yang bisa membantunya saat memasak.

Ati merupakan salah satu dari empat warga Desa Pada Asih yang mengikuti sosialisasi sosialisasi penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar untuk memasak di rumah tangga yang merupakan program rintisan PT Energy Management Indonesia (Persero), Sabtu (25/1).

Sudah sebulan ini, Ati dan keluarganya kesulitan untuk memasak karena kayu bakar yang digunakannya banyak yang basah dan perlu waktu lama untuk memasak. Kehadiran pelet kayu jadi solusi dari masalah yang dihadapinya.

"Sore ini saya langsung pakai kompor ini untuk masak nasi dan air. Senang sekali. Rumah jadi nggak berasap kalau masak, juga cepat. Saya bisa  masakin anak sebelum berangkat sekolah. Biasanya kalau pakai kayu bakar saya masak setelah mengantar anak ke sekolah," tutur Ati.

Sebelumnya, Ati sempat menggunakan elpiji untuk memasak. Namun, karena kondisi ekonomi, tabung elpiji 3 kg terpaksa dijualnya. Ati dan keluarganya pun terpaksa beralih ke kayu bakar, meski harus meluangkan waktu 3 jam dalam seminggu untuk mencari kayu.

Berkat kehadiran kompor pelet kayu, dia pun merasa terbantu. Apalagi, selain bisa memasak lebih cepat, pelet kayu pun bebas asap karbondioksida laiknya kayu yang dibakar.

"Terima kasih ada bantuan kompor pelet kayu ini, pabriknya juga dekat, dan mudah-mudahan nanti ada bantuan untuk beli pelet kayunya," harap Ati.

Menanggapi harapan warga desa Pada Asih tersebut, Direktur PT Gemilang MS, Dwi Sariningtyas, yang mengelola pabrik pelet kayu di lokasi tersebut menyampaikan bahwa pihaknya siap mendukung program pemanfaatan EBT tersebut.

Secara keekonomian, harga pelet kayu untuk ekspor berkisar 100-200 dolar AS per ton, sedangkan harga keekonomian di gudang pabrik untuk keperluan domestik dibanderol sekitar Rp 1.500 sampai Rp 1.700 per kg tergantung pada jenis bahan bakunya. Sedangkan harga di konsumen berkisar antara Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per kg bergantung pada jarak transportasi, desain, dan penyediaan burner/tungku berikut instalasinya serta jasa pemeliharaan dan sparepart.

"Kami siap untuk mendukung program ini. Selama ini kami memang mendedikasikan produksi pelet kayu untuk memenuhi kebutuhan konsumen lokal, sama sekali nggak ekspor walaupun ada beberapa permintaan dan tawaran untuk ekspor," kata Sari.

"Konsumen kami saat ini adalah industri pembuatan tahu, keripik, pabrik genteng, budidaya jamur, minyak atsiri, dan bahkan pengeringan gabah dan pengolahan logam rakyat. Untuk IKM tersebut, kami menyuplai dalam bentuk paket desain dan penyediaan burner/tungku, mengantar pelet kayu sampai ke lokasi berikut pemeliharaan burner/tungku dan pemeliharaan berkala. Pokoknya konsumen tahu beres," imbuhnya.

Untuk diketahui, uji coba penggunaan EBT (Energi Baru Terbarukan) Biomassa dalam bentuk pelet kayu merupakan program rintisan PT Energy Management Indonesia (Persero) melalui program Multiple Household-Fuel Options. Termasuk pelet kayu untuk memasak di level rumah tangga.

Program ini adalah upaya EMI sebagai BUMN EBTKE (Energi Baru Terbarukan Dan Konversi Energi) untuk mendorong pemanfaatan biomassa yang bersumber dari sumber-sumber lokal (setempat) dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi bersih bagi masyarakat.

"Ini adalah bentuk rintisan dari salah satu program kerja EMI, namanya program Multiple Household-Fuel Options, yaitu pengembangan dan penyediaan pelet kayu sebagai energi alternatif untuk rumah tangga dan industri kecil," kata Dirut PT EMI (Persero) Andreas Widodo.

Selain uji coba penggunaan pelet kayu untuk rumah tangga, serangkaian kegiatan mendorong Energi Baru Terbarukan tersebut juga dilakukan site visit ke Pembangkit Listrik Mini Hydro (PLTMH) di Kampung Sindang Cai, Desa Jambalaer, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang.

Hadir dalam rangkaian kegiatan tersebut Wakil Ketua Umum Bidang EBT dan Lingkungan Hidup Kadin, Halim Kalla. Didampingi Wakil Ketua Komisi Tetap Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah Kadin Energi Baru Terbarukan, Miranti Serad; Direktur Operasi dan Pengembangan PT EMI (Persero), Antonius Aris Sudjatmiko; serta Direktur PT GMS, Dwi Sariningtyas.

Cocok Di Pedesaan
Usai menyaksikan uji coba kompor berbahan bakar pelet kayu, Halim Kalla menilai kompor tersebut sangat pas diterapkan di kampung seperti di Desa Pada Asih. Sebab masih banyak penduduk di sekitar pabrik pelet kayu yang menggunakan kayu dan tungku tradisional untuk memasak.

“Jika selama ini menggunakan kayu mereka menghisap asap C02 dari pembakaran kayu. Dengan pelet kayu mereka terbebas dari asap C02,” katanya.

Selain untuk masyarakat kecil yang masih menggunakan kayu bakar dan tungku, menurut Halim, pelet kayu cocok digunakan untuk usaha kecil dan menengah (UKM).

“Yang memasak secara terus menerus berkesinambungan, seperti pabrik tahu atau warung makan yang frekuensi memasaknya cukup tinggi, itu sangat cocok. Jadi lebih signifikan penghematannya,” imbuh Halim.

Selain itu, menurut Halim, baik UKM maupun masyarakat di wilayah tersebut berada tak jauh dari lokasi pabrik pelet kayu. Jadi masyarakat kategori miskin benar-benar menikmati manfaat pelet kayu ini. Oleh karena itu ia mendorong PT EMI maupun PT GMS memproduksi banyak kompor pelet kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa di sekitar pabrik.

Sementara untuk pabrik pelet, seperti yang dikelola PT GMS, Halim mengingatkan perlu dipikirkan ketersedian suplai bahan bakunya. PT GMS harus memiliki sumber bahan baku pelet kayu yang berkesinambungan.

“Yang dikhawatirkan pengguna pelet kayu ini jika sudah berlangganan, apakah suplainya konstan. Tiba-tiba perlu ternyata stok nggak ada, kan usaha jadi terganggu. Di sini harus ada jaminan ketersediaan pelet kayu. Maka sebaiknya di dekat pabrik pelet kayu juga ada pabrik pemotongan kayu misalnya. Jadi ada kepastian pasokan bahan baku atau dedaknya,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA