Menyikapi hal tersebut Direktur Riset Center of Perform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyampaikan, pernyataan Moody’s lebih ditujukan kepada potensi gagal bayarnya (default) swasta di tengah pelemahan ekonomi global.
Perusahaan-perusahaan swasta yang diketahui saat ini sudah sangat
highly leverage atau dengan kata lain utangnya sangat besar.
Menurut Piter, pelemahan ekonomi global meningkatkan risiko gagal bayar untuk perusahaan yang memiliki kewajiban utang yang sangat besar. Terutama lagi untuk perusahaan yang punya utang luar negeri swasta yang demikian besar dalam bentuk valas.
"Gejolak nilai tukar bisa sewaktu-waktu menyebabkan kewajiban tersebut meningkat secara drastis dan berakibat gagal bayar,†ungkap Piter kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (2/10).
Adanya peringatan dini dari Moody’s, kata Piter, cukup beralasan. Pasalnya, utang perusahaan swasta di perbankan dunia sangat besar, jika tidak ingin peristiwa moneter tahun 1998 terulang kembali.
“Warning moodys saya kira beralasan dan sesungguhnya kita bisa belajar kepada pengalaman kita pada tahun 1997-1998. Menjelang krisis situasinya relatif sama, terjadi lonjakan utang swasta yang kemudian meledak tak tertangani ketika terjadi pelemahan Rupiah yang ekstrim,†tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: