Begitu yang disampaikan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani dalam Diskusi Online Indef (DOI), Minggu (25/8).
Hal ini diungkapkannya terkait dengan Rancangan Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 yang diperkirakan Aviliani berpotensi hasilkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 29,4 hingga 30,1 persen.
"Memang masih dalam level aman, karena sesuai UU 17/2003 tentang keuangan Negara batasnya 60 persen rasio terhadap produk domestik bruto. Namun tetap harus memperhatikan prioritas yang mengarahkan pada yang produktif dan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Aviliani mengingatkan hal tersebut, lantaran Pemerintah belum menunjukkan proyeksi dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Sehingga pemegang SBN tidak dapat mengontrol penggunaan secara langsung produk yang dibelinya.
Lanjut Aviliani, Indonesia juga pernah mengalami defisit mendekati 3 persen. Sehingga pengelolaan Fiskal jadi sangat riskan.
"Karena, seringkali pengeluaran sudah pasti, tapi penerimaan tidak sesuai, sehingga menambah defisit," sambung dia.
Menurut Aviliani, ruang gerak fiskal tahun 2020 sudah sangat terbatas, apalagi jika pajak korporasi akan diturunkan 5 persen. Termasuk insentif-insentif lain yang sudah disampaikan pemerintah diperkirakan akan menurunkan pendapatan pajak dan dapat menambah defisit.
"Kalaupun akan dicari dari pendapatan lain perlu ada kejelasan sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif," tegasnya.
"Untuk utang ke depan perlu dikeluarkan berdasarkan program atau proyeksinya, sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya," tandasnya.
Untuk diketahui posisi utang pemerintah pada akhir triwulan II 2019 tercatat 192,5 miliar dolar AS atau tumbuh 9,1 persen (yoy). Meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 3,6 persen (yoy).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: