Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ekonomi Indonesia Bisa Gagal Jika BUMN Tidak Bisa Hadapi Tantangan Perang Dagang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 20 Agustus 2019, 21:21 WIB
Ekonomi Indonesia Bisa Gagal Jika BUMN Tidak Bisa Hadapi Tantangan Perang Dagang
Ilustrasi/Net
rmol news logo Perekonomian Indonesia akan terpuruk jika pemerintah gagal mengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya dalam menghadapi perang dagang Amerika Serikat-China, dan dampak dari Pemilihan Presiden AS pada Tahun 2020.

Begitu disampaikan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, dalam Round Table Discussion (RTD) dengan tema "Mencari Motif di Balik Rencana Perombakan Direksi dan Komisaris BUMN" di Gado-gado Boplo, Jalan Raya Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Bila tak segera evaluasi, Bhima mengatakan, Indonesia akan terkena dampak ketidakpastian baik dari global, baik dari tekanan ekonomi, hingga karena faktor geopolitik.

"AS itu pada tahun 2020 akan mengalami pilpres dan perang dagang itu akan digunakan salah satu isu oleh Donald Trump untuk memenangkan pilpres di AS ini akan bisa berdampak pada harga komoditas yang masih akan melambat dan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.

Menurut Bhima, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menargetkan perkonomian tahun 2020 tumbuh sebesar 5,3 persen dinilai tidak akan tercapai. Menurutnya, perekonomian hanya akan tumbuh di persen. Mengingat ekonomi global sedang mengalami tekanan.

Oleh karenanya, kata Bhima, penting bagi BUMN untuk bisa mendukung pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

"Kalau Pak Jokowi targetkan 5,3 persen kelihatannya 2020 pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di angka 5 persen. Kondisi makin berat dengan kinerja BUMN yang dikelola secara tidak profesional," tegasnya.

Menurut Bhima, jika BUMN tidak mampu memperbaiki diri, risiko lainnya adalah kegagalan BUMN dalam membayar utang.

"BUMN yang akan mengalami kesulitan likuiditas, pada tahun 2020 sampai 2021," sambungnya.

Dampak negatif lain untuk BUMN juga karena rencana Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang akan digelar pada 28 Agustus-2 September 2019. RUPSLB ini dinilai menjadi pertanyaan besar dan nampak genting, padahal dominan kinerja dari lima perusahaan tersebut terbilang tidak buruk-buruk amat.

Selain itu kata dia, lembaga rating Standard and Poor's (S&P) sudah mengingatkan BUMN untuk memperhatikan perusahaannya dimana dikhawatirkan pada tahun 2025 kedepan jatuh tempo utang perusahaan BUMN karya dan PLN.

"Nah ini jadi salah satu warning bagaimana mengelola BUMN dalam kurun waktu 5 tahun ke depan," ujarnya.

"Sementara tantangan juga semakin sulit, jadi artinya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri BUMN khususnya RUPSLB ini bertendensi merusak kinerja BUMN dalam kurun waktu yang cukup lama," sambungnya.

Kementerian BUMN disinyalir akan merombak lima direksi perusahaan melalui RUPSLB, yakni PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS), PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Tabungan Negara Tbk. (BBTN), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI). rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA