Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Norwegia, Indonesia Buka-bukaan Terkait Persepsi Negatif Terhadap Sawit

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Sabtu, 29 Juni 2019, 10:24 WIB
Di Norwegia, Indonesia Buka-bukaan Terkait Persepsi Negatif Terhadap Sawit
Foto:KBRI Oslo
rmol news logo Di tengah gempuran kampanye sawit negatif di Norwegia, ternyata sawit berperan penting dalam pencapaian target-target tujuan pembangunan berkelanjutan di lndonesia, di samping merupakan industri strategis bagi perekonomian Indonesia. Upaya kolektif pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat dinilai berhasil dalam mempertahankan kelestarian lahan gambut dan sawit.

Hal itu yang mengemuka dalam seminar bertajuk "Sustainable Peatland & Palm Oil Contributions Toward the Achievement of the UN SDGs" yang digelar KBRI Oslo (28/6), di Konfederasi Bisnis Norwegia (Næringslivets Hovedorganisasjon/NHO), Oslo, Norwegia. Seminar dihadiri sekitar 100 peserta dari kalangan pemerintah, akademisi, bisnis, dan LSM di Norwegia.

Dubes RI untuk Norwegia dan Islandia, Todung Mulya Lubis, mengatakan bahwa seminar bertujuan untuk memberikan pemahaman termutakhir kepada publik Norwegia mengenai kontribusi sawit dan gambut lestari bagi pencapaian target-target Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.

"Keberhasilan Indonesia dalam melestarikan sawit dan gambut tidak lepas dari upaya kolektif pemerintah, bisnis, dan masyarakat," ungkap Dubes Mulya Lubis dalam keterangan pers KBRI Oslo, Sabtu (29/6).

"Menteri menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia telah berkunjung ke Papua Barat pada Februari 2019 lalu dan menyaksikan langsung keberhasilan RI dalam menjaga kelestarian lingkungan. Indonesia telah dapat mengintensifkan produksi sawit lestari tanpa mengurangi luas hutan di Papua Barat," lanjut Dubes Mulya Lubis.

Penasehat Politik untuk Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Marit Vea mengatakan bahwa Norwegia dan Indonesia perlu mencari solusi untuk isu sawit.

"Kita memiliki kepentingan bersama pada program kerja sama lingkungan hidup REDD+ dan Indonesia-European Free Trade Agreement (EFTA) Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA)," tutur Marit Vea.

Sebagaimana diketahui, Parlemen Norwegia pada tahun 2017 telah menerbitkan resolusi untuk mengurangi penggunaan minyak sawit dalam produk biodiesel yang beredar di Norwegia. Di sisi lain, Indonesia terus mengupayakan kualitas sawit lestari, salah satunya melalui program biodiesel.

Sekretaris Pertama Fungsi Ekonomi 1 KBRI Oslo, R. Wisnu Lombardwinanto menerangkan bahwa seminar merupakan yang pertama kalinya diselenggarakan dengan mengolaborasikan kehadiran pembicara-pembicara kompeten terkait, antara lain, Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG); Dono Boestami, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS); Vemund Olsen, Rainforest Foundation Norway; Prof. Yanto Santosa, Institut Pertanian Bogor (IPB); Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI); Kristine Vergli Grant-Carlsen, CEO perusahaan energi St1 Norway; Axel Heiberg-Andersen, Manager Corporate Communication Nestlé Norway; Prof. Pietro Paganini, John Cabot University, Roma; dan moderator Pål Davidsen dari Rud Pedersen Public Affairs.

"Indonesia tengah mengembangkan teknologi untuk mengkonversi minyak sawit menjadi bio-hydrocarbon fuel untuk memproduksi green diesel, green gasoline, dan green avtur," ungkap Dono Boestami, Dirut BPDP-KS.

Rainforest Foundation Norway, LSM yang kritis terhadap kebijakan lingkungan hidup di Indonesia justru mengapresiasi keberhasilan pelestarian lingkungan hidup di Tanah Air belakangan ini. "Pencapaian ini perlu diapresiasi, tetapi dibutuhkan pula kebijakan jangka panjang untuk menjaga tren positif dalam upaya pelestarian lingkungan di Indonesia," ujar Vemund Olsen.

Menanggapi hal tersebut, Kepala BRG, Nazir Foead, membuka rahasia Indonesia yang berhasil mengurangi hotspot kebakaran hutan. "Indonesia membangun teknologi sistem monitoring lahan gambut, disebut peatland resotration information and montoring system (PRIMS), yang terintegrasi, online, dan terhubung langsung dengan Kantor Presiden RI," ungkap Nazir Foead.

Sementara itu, Prof. Yanto Santosa dari IPB memaparkan data statistik dan fakta sejarah bahwa sawit bukan merupakan penyebab langsung dari penggundulan hutan hujan tropis di Indonesia. Menghilangnya hutan hujan tropis secara drastis disebabkan oleh kebijakan transmigrasi pada 1960an, penerbitan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada 1970an, dan kebakaran hutan yang massif.

"Komoditas transmigrasi pada mulanya bukan sawit, tapi kopi, coklat, kemiri, lada, dan hasil perkebunan lainnya. Namun orang cenderung membandingkan antara dahulu dan sekarang semata, namun melupakan runutan sejarahnya. Justru sawit mulai ditanam berkontribusi menghijaukan kembali hutan gundul pada 1980an," sebutnya.

Lebih jauh, perusahaan energi ST1 Norway mengakui sedikitnya 40 persen dari total biofuel digunakan di wilayah Nordik. Sayangnya, deforestasi mengakibatkan minyak sawit mendapatkan penolakan yang cukup serius di Norwegia. Hal ini dibenarkan oleh Nestle Norway yang menjadi menjadi target kampanye lingkungan hidup Greenpeace pada tahun 2010. Sejak itu, Nestle menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan menargetkan 100 persen memakai produk sawit tersertifikasi pada 2020. Bicara perihal sertifikasi sawit, Togar Sitanggang, Waketum GAPKI, menanggapi bahwa sertifikasi sawit harus berasal dari negara asal, karena mewakili kepentingan petani dan industri setempat. Penerbitan sertifikasi sawit Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) terus meningkat sejak tahun 2013-2018.

Menurut Prof. Pietro Paganini dari John Cabot University Roma, serangan kampanye negatif merata di seluruh negara di Eropa. Persepsi sawit yang terus memburuk di Eropa dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi marketing. "Perusahaan-perusahaan itu hanya memanfaatkan kampanye sawit negatif untuk mengejar keuntungan semata, tetapi tidak berkontribusi terhadap biodiversity dan sustainability," lanjutnya.

Seminar yang diadakan atas inisiasi KBRI Oslo dan Kemlu RI, didukung oleh GAPKI, BPDPKS dan BRG ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Indonesia Oslo yang digelar pada 28 sampai 30 Juni 2019.

Selain seminar, diselenggarakan pula kegiatan temu bisnis RI-Norwegia di Oslo terdiri dari promosi produk makanan/minuman kemasan, kopi, kerajinan tangan, dan ragam destinasi wisata tanah air. Puncak acara akan digelar di pusat Kota Oslo, yaitu alun-alun Spikersuppa. Tempat paling ramai di ibukota Norwegia tersebut akan disulap menjadi pasar Indonesia dengan puluhan tenda (booth) pameran produk-produk unggulan dan diseminasi informasi mengenai upaya pelestarian lingkungan di Indonesia. Festival Indonesia yang pertama kali diadakan di Norwegia ini juga menjadi bagian dari peringatan 70 tahun hubungan diplomatik RI-Norwegia yang akan jatuh pada 25 Januari 2020. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA