Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Persaingan Usaha Ojek Online Jangan Sampai Merugikan Konsumen

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Senin, 20 Mei 2019, 19:15 WIB
Persaingan Usaha Ojek Online Jangan Sampai Merugikan Konsumen
Foto:Net
rmol news logo . Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan diminta untuk melarang aplikator transportasi ojek online menerapkan tarif promo yang berlebihan dan mengarah pada praktik predatory pricing berbungkus promo yang terus-menerus.

Perilaku persaingan usaha yang tidak sehat tersebut dinilai berpotensi menyingkirkan kompetitor hingga pada akhirnya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.

Usulan tersebut merupakan kesimpulan diskusi publik berjudul "Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif" yang digelar Komunitas Peduli Transportasi di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/5).

Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2015-2018, Syarkawi Rauf menilai dua payung hukum yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bisnis transportasi online, masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh aplikator.

Dua beleid tersebut adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12/2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat, dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KP 348 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

"Dalam aturan itu ada ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen, serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Tapi tidak diatur soal promosi," ujar Syarkawi dalam keterangan tertulis.

Dia menyayangkan pemerintah tidak mengatur ketentuan pemberlakuan promosi yang bisa diberikan oleh aplikator kepada konsumennya. Pasalnya dari situ bisa muncul praktik predatory pricing.

"Misal ongkos produksinya 20, lalu aplikator jual 0. Atau kenapa dengan tarif promosi bisa diskon 100 persen, yang malah bisa menjual ke konsumen secara gratis. Istilahnya dia berani jual rugi untuk memperbesar pangsa pasar dan menyingkirkan kompetitornya," katanya.

Praktik ini, kata Syarkawi, terindikasikan tidak sejalan dengan UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana, pasal 20 beleid tersebut mengatakan pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat menyebabkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Jika dilihat dari kacamata konsumen, Syarkawi membantah bahwa tarif promosi itu menguntungkan dalam jangka panjang. Pasalnya, jika suatu perusahaan yang melakukan predatory pricing itu sudah berhasil menyingkirkan kompetitornya dan menjadi pemain tunggal (monopolis), barulah ia akan menerapkan tarif yang sangat tinggi guna menutupi biaya promosi yang sudah pernah dikeluarkannya dulu.

"Dengan hanya ada satu pemain dominan, maka pemain tersebut akan bebas menerapkan harga. Pada transportasi online uniknya monopoli tidak akan hanya  merugikan konsumen, tapi juga driver karena mereka  akan kehilangan posisi tawar dan pilihan," katanya.

Dia juga menilai predatory pricing akan menghambat masuknya pemain baru yang dipastikan akan kesulitan bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang punya kemampuan modal kuat untuk memberikan promo.

"Ini harus diatur oleh pemerintah soal jangka waktu dan besaran promo ini," tegasnya.

Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan, lanjut Syarkawi, harus merevisi Permenhub 12/2009 supaya membatasi promo pada batas wajar dan memberikan sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar.

Pembicara lain, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin menilai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sudah sangat bijaksana mengatur dan memperhatikan keberlangsungan usaha transportasi online di Indonesia. Pemerintah cukup memahami adanya kebutuhan regulasi untuk menjaga agar manfaat positif tersebut dapat dinikmati terus menerus.

Namun demikian, Kemenhub bisa menerapkan pengaturan transportasi konvensional dan transportasi roda-empat online yang melarang promo dibawah batas bawah ke pengaturan ojek online.

"Contohnya di industri transportasi konvensional, Blue Bird dan Express tidak bermain di ranah harga, atau promosi jor-joran tetapi di layanan dan produk yang solutif. Ini persaingan yang lebih sehat. Kemenhub harusnya bisa menerapkan beleid pembatasan promo di aturan ojek online, seperti yang diterapkan di Permenhub soal taksi online," kata Muslich.

Menurutnya, pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi tidak cukup. Ia menilai diperlukan penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi dan diskon yang agresif.

"Harus ada koordinasi Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan KPPU, untuk menetapkan mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online," ucapnya.

Dia menambahkan, ekosistem transportasi online terdiri dari pengemudi, aplikator, dan konsumen. Dalam menentukan tarif ojek online, pemerintah perlu mempertimbangkan perspektif seluruh pihak yang terlibat di dalam ekosistem ini, termasuk konsumen.

"Melihat besarnya jumlah masyarakat yang sudah menjadi konsumen tetap transportasi online, sudah selayaknya konsumen memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kebijakan," kata Muslich. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA