Dimensy.id
Apollo Solar Panel

JK Galak Di China

Protes Diskriminasi Sawit

Senin, 29 April 2019, 08:11 WIB
JK Galak Di China
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)/Net
rmol news logo Pemerintah menggaungkan protes terhadap perlakuan diskriminasi Uni Eropa atas minyak sawit Indonesia di forum internasional. Memanfaatkan Belt and Road Forum II, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tampil galak mengkritisi kebijakan Benua Biru.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

 Belt and Road Forum (BRF) II digelar di Beijing, China, 25 sampai 27 April. Pertemuan ini dihadiri sekitar 40 kepala negara/pemerintah. JK menye­lipkan protes terhadap perlakuan diskriminasi sawit Eropa saat memberikan masukan dan pan­dangan Indonesia pada sesi 3 Leaders Roundtable BRF, di International Convention Center (ICC), Ji Xian, Hall, Beijing, Sabtu (27/04).

JK menentang perlakuan dis­kriminatif mengatasnamakan isu sustainable palm oil. "Sejak lama isu sustainability telah menjadi perhatian dari negara produsen. Ada bukti datanya. Sayang­nya data itu tidak didengarkan (dicuekin-red)," ungkap JK.

JK menuturkan, perkebu­nan sawit memiliki peranan sangat penting untuk Indonesia. 16 juta warga Indonesia terli­bat dalam perkebunan sawit. Produksi sawit di Indonesia telah berkontribusi terhadap target pembangunan berkelan­jutan (Sustainable Development Goals/SDGs). "Perlakukan dis­kriminasi itu terus dijalankan dan berpengaruh terhadap pen­capaian SDGs Indonesia. Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan," tegas JK.

JK berpandangan, tidak ada satu pun negara yang bisa men­capai SDGs sendiri tanpa sinergi dan kerja sama dengan negara lain, termasuk melalui BRF. "Kerja sama harus bersifat na­tional-driven bukan donor atau loan-giver driven," cetus JK.

Selain itu, lanjut JK, Kerja sama harus mempertimbangkan inklusivitas. Karena dengan per­timbangan tersebut BRF dapat menyejahterakan setiap negara yang tergabung di dalamnya. Kerja sama harus saling menguntungkan. Hal itu bisa dicapai melalui kepemimpinan kolektif dan saling berbagi tanggung jawab.

"Me first policy tidak dapat diterapkan, jika kita ingin cita-cita SDGs terpenuhi. Di situ lah prinsip-prinsip multilateralisme diperlukan. Dunia akan melihat dan mencatat apakah janji dalam kerja sama Belt and Road ini benar-benar akan membawa ke­untungan bagi semua," ujarnya.

Seperti diketahui, Uni Eropa membuat regulasi melarang penggunaan minyak sawit Indonesia (Renewable Energy Di­rective/RED II). Regulasi itu tinggal menunggu pengesahan saja pada 15 Mei mendatang. Pemerintah Indonesia pernah mengirimkan delegasi menemui otoritas tinggi di Uni Eropa na­mun hasilnya mengecewakan.

Untuk menghalau kebijakan itu, Indonesia akan melayangkan gugatan ke WTO (World Trade Organization) setelah regulasi nanti benar-benar disahkan.

Sementara itu, Ekonom In­stitute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yu­dhistira menilai, dengan sikap ngotot Uni Eropa, kebijakan larangan sawit kemungkinan besar akan disahkan.

"Parlemen mereka mati- matian membela minyak nabati mereka yang kalah saing dengan minyak sawit," ungkap Bhima.

Bhima menuturkan, untuk menghadapi Eropa harus den­gan langkah nyata. Bila mereka mengesahkan aturan itu, pemerintah juga harus bersikap tegas.

Bhima berharap, niat pe­merintah menggandeng firma hukum berpengalaman benar-benar terealisasi. "Selama ini kita sering kalah di sidang WTO karena tidak didampingi firma hukum yang bagus," ungkap­nya.

Dekat Lewat Cheng Ho

Soal kerja sama dengan China, JK berharap, ke depan semakin erat. Dan, kerja sama saling menguntungkan. Apalagi, kerja sama kedua negara telah ber­langsung sejak ratusan tahun silam.

JK menceritakan pengalaman­nya saat bertemu dengan Wakil Presiden China, Wang Qishan. Dituturkannya, Wang bertanya kepada dirinya tentang siapa yang pertama kali datang ke Indonesia, Portugis atau Belan­da. Pertanyaan itu dijawab JK: bukan kedua negara itu. "Yang pertama datang itu Laksamana Cheng Ho. Dia tidak datang untuk menjajah Indonesia, tetapi datang untuk berdagang dengan Indonesia," kata JK.

JK menuturkan, kerja sama antara Indonesia dan China saat ini hanya melanjutkan sejarah panjang kedua negara.

Saat ini, nilai perdagangan Indonesia-China mencapai 40 miliar dolar AS meski menyisa­kan masalah serius soal defisit perdagangan yang besar dari pihak Indonesia.

"Presiden Xi Jinping telah menjanjikan peningkatan im­por Tiongkok dari Indonesia, termasuk hasil pertanian, buah-buahan, dan hasil industri yang sesuai dan barang tambang mineral yang telah diolah di Indonesia," katanya.

JK mengatakan, Indonesia dan China memiliki perbe­daan dalam sistem politik. Namun hal itu bukan masalah. Karena, sistem ekonomi kedua negara sama-sama pasar bebas. Indonesia harus bisa menyon­toh kesuksesan China meski Indonesia menerapkan sistem demokrasi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA