Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Petani Tembakau Menantang Senayan

Tolak Penggabungan SPM Dan SKM

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Minggu, 03 Maret 2019, 10:29 WIB
Petani Tembakau Menantang Senayan
Foto: APTI
rmol news logo Petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menantang Komisi XI DPR untuk mendorong pemberlakuan kebijakan disparitas cukai.

Yakni, mengenakan cukai lebih tinggi kepada rokok non-berbahan baku lokal (Sigaret Putih Mesin/SPM) dibandingkan dengan cukai untuk rokok kretek (Sigaret Kretek Mesin/SKM).

Tantangan tersebut dilontarkan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) sebagai respons terhadap usulan sejumlah anggota Komisi XI DPR, yang menghendaki dilakukannya penggabungan volume produksi SKM dan SPM.

”Usulan penggabungan segmen SKM dan SPM itu jelas kurang tepat. Sebab, hal itu justru akan memicu persaingan yang tidak sehat pada ekosistem industri hasil tembakau di Indonesia,” kata Ketua Umum DPN APTI, Agus Parmuji, dalam keterangan persnya, Minggu (3/3).

Penolakan APTI terhadap usulan Komisi XI DPR utamanya didasarkan pada perbedaan generik biologis SPM dan SKM.

Agus bahkan meyakini, usulan yang didorong para politisi Senayan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional.

"Sebab, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional,” tegasnya.

Awal Februari lalu, beberapa anggota Komisi XI DPRkencang menyuarakan desakan kepada pemerintah untuk menggabungkan volume produksi SKM dan SPM pada 2019 ini. Mereka berpendapat, penggabungan kedua segmen tersebut akan menghindarkan negara dari kebocoran penerimaan cukai.

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan, Indah Kurnia, misalnya, menyebut penggabungan SKM dan SPM akan memaksimalkan penerimaan negara dari cukai. Penggabungan ini juga akan menghentikan praktik penghindaran pajak pabrikan rokok asing besar, yang saat ini masih menikmati tarif cukai murah.

"Jika hal ini dilakukan, maka kebijakan tersebut juga akan melindungi pabrikan rokok kecil dari persaingan harga dengan pabrikan asing besar," dalih Indah.

Hal senada disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Amir Uskara. Kata dia, penggabungan SKM dan SPM harus tetap direalisasikan. Sebagaimana Indah, ia tidak ingin pabrikan besar asing terus menikmati tarif cukai yang murah.

"Penundaan penggabungan justru akan menyulitkan pabrikan rokok kecil," jelas Amir.  

Merespons hal itu, Agus meminta para anggota Dewan untuk tidak melihat dari sisi pemasukan negara saja. Mereka juga harus melihat dari sisi lain, yakni terkait penyelamatan industri nasional dari hulu sampai hilir. Dari industri kretek sampai ke petani tembakau nasional.

"Bahkan, lebih jauh lagi, sampai ke pedagang asongan yang ikut merasakan dampak positif dari penjualan eceran rokok kretek," ujarnya.

Menurut Agus, kebijakan disparitas cukai merupakan langkah mulia jika ingin mengamankan pemasukan negara, sekaligus tetap menyelamatkan petani tembakau.

"Itu langkah konkret yang kami tunggu sebagai bukti keberpihakan politisi terhadap petani tembakau nasional. Petani harus menantang, berani tidak politisi dari dapil pertembakauan se-Indonesia mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan disparitas cukai,” tegasnya.

Agus Parmuji menambahkan, keberpihakan pemerintah dan DPR terhadap petani tembakau dan buruh industri hasil tembakau sangat penting. Sebab, tarif cukai rokok menyangkut keberlangsungan hidup sektor pertembakauan.

Karenanya, APTI mengimbau semua petani tembakau Indonesia untuk bergotong royong menyelamatkan Senayan dari kebijakan-kebijakan yang tidak memihak petani tembakau.

”Secara khusus, APTI menginstruksikan seluruh petani tembakau untuk memilih calon wakil rakyat yang memiliki komitmen memperjuangkan hak-hak petani tembakau. Pilih caleg yang berani membentengi dan menyelamatkan tembakau dari berbagai ancaman,” tegas Agus.

Sebagai ilustrasi, petani tembakau di Indonesia saat ini tersebar di 15 provinsi. Populasi terbesar berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB dan Jawa Barat, dengan jumlah petani dan buruh tani sekitar 3,2 juta. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA