Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemerintah Masih Setengah Hati Kembangkan Energi Terbarukan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 01 Maret 2019, 20:12 WIB
Pemerintah Masih Setengah Hati Kembangkan Energi Terbarukan
Ilustrasi/Net
rmol news logo Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berharap pemerintah terus menggenjot kebijakan menurunkan emisi karbon.

Hal itu sesuai dengan komitmen pada kesepakatan Paris Agreement yaitu mencapai bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 25 persen pada tahun 2025 mendatang.

Menurut Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo, hingga saat ini upaya pemerintah mencapai target bauran EBT masih belum optimal.

"Sepertinya fokus pemerintah untuk EBT masih setengah hati, tidak serius," katanya dalam seminar energi di Kantor LIPI, Jakarta, Jumat (1/3).

Data LIPI pada 2004, pembangunan pembangkit EBT mencapai 16,35 gigawatt (GW). Dari angka itu, PT PLN membangun 12,1 GW, sisanya produsen listrik swasta atau IPP.

Di tahun yang sama, pembangunan energi fosil mencapai 103,8 GW. Perusahaan setrum negara mendirikan 84,1 GW pembangkit dan IPP mencapai 19,7 GW. Pada 2017, pembangkit EBT yang dibangun naik sebanyak 32 GW. Namun, masih lebih jauh dibandingkan pembangunan pembangkit fosil yang mencapai 222,6 GW.

Maxensius menjelaskan, setidaknya ada tiga solusi untuk masalah tersebut. Pertama, pemerintah perlu mengembangkan jaringan listrik pintar atau smart grid. Teknologi yang dapat mengakomodir peran pembangkit listrik EBT dengan optimal.

"Teknologi smart grid membuat pengelolaan listrik berjalan dua arah. Tak hanya PLN yang menyediakan, pemilik rumah yang memiliki pembangkit EBT pun bisa memasok listrik ke jaringan yang sudah ada," bebernya.

Dana untuk membuat smart grid sekitar Rp 238 triliun per tahun. Tetapi untuk jangka panjang, Indonesia tidak lagi bergantung pada energi fosil.

"Jadi kita tinggal pilih. Murah tapi terus seperti ini atau mahal sedikit tapi lebih baik untuk ke depannya," kata Maxensius.

Selain itu, pemerintah perlu memberi insentif kepada industri yang memakai teknologi ramah lingkungan. Sektor industri menjadi konsumen energi fosil terbesar pada 2017 yakni sebesar 43,8 persen. Di 2007, angka itu hanya 25 persen.

Pengembangan kendaraan berbahan bakar listrik juga perlu dikebut untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Transportasi juga menjadi penyumbang emisi karbon kedua yang terbesar di Indonesia. Pada 2007, sektor ini mengonsumsi sekitar seperempat dari pemakaian bahan bakar fosil Tanah Air. Angka itu naik menjadi 39 persen.

Maxensius mencontohkan, pemerintah Tiongkok telah memberi subsidi untuk mobil listrik dan insentif untuk industrinya.

"Kita punya potensi di sini karena transportasi pribadi yang jumlahnya banyak," imbuhnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA