Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Skandal Penyuapan Lockheed Dan Kepretan Untuk Freeport

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Jumat, 04 Januari 2019, 11:43 WIB
Skandal Penyuapan Lockheed Dan Kepretan Untuk Freeport
Foto: Net
rmol news logo . Publik Amerika Serikat mengenalnya sebagai “Skandal Penyuapan Lockheed”. Kasus itu terjadi di tahun 1976, menjelang akhir era pemerintahan Gerard Ford.

Bersama beberapa kasus penyuapan besar lainnya, “Skandal Penyuapan Lockheed” mendorong pemerintahan Jimmy Carter yang mulai berkuasa di tahun 1977 mengusulkan sebuah peraturan yang secara tegas melawan praktik penyuapan yang dilakukan perusahaan Amerika Serikat kepada pihak-pihak di luar negeri demi mendapatkan kontrak, konsesi atau pembelian dan sebagainya.

Kongres menyetujui, dan UU itu pun dikenal dengan nama: Foreign Corrupt Practices Act (FCPA). Ia memiliki sejumlah nama lain, mulai dari Domestic and Foreign Investment Improved Disclosure Act, Securities Exchange Act of1934 Amendment, dan Unlawful Corporate Payments Act.

Bagaimana UU ini lahir?

Di pertengahan 1970an, US Securities and Exchange Commission menginvestigasi sekitar 400 perusahaan AS yang beroperasi di luar negeri. Perusahaan-perusahaan ini diduga melakukan penyuapan terhadap pejabat, pengusaha, partai politik dan pihak-pihak lain di negara asing tempat perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi.

Skandal penyuapan Lockheed termasuk yang paling dikenal dan menarik perhatian masyarakat luas pada masa itu. Seperti namanya, skandal ini melibatkan produsen pesawat AS, Lockheed Corporation, dan mantan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.

Kasus ini berawal dari pengakuan pihak Lockheed di hadapan Senat AS di bulan Februari 1976 bahwa pihaknya menyuap Tanaka sebagai imbal balik atas pembelian pesawat Lockheed L-1011 ketika ia masih menjadi Perdana Menteri antara tahun 1972 hingga 1974.

Pada 27 Juli 1976, politisi senior Partai Liberal Demokrat (LDP) ini ditangkap. Walaupun sempat dibebaskan dengan jaminan, namun putusan pengadilan Jepang di tahun 1983 menjatuhkan hukuman penjara selama empat tahun kepada Tanaka.

Tanaka dikenang sebagai salah seorang pemimpin Jepang yang kontroversial. Ia merupakan Perdana Menteri ke-64 dan ke-65 di negeri matahari. Periode pertama dijabatnya dari 7 Juli hingga 22 Desember 1972. Lalu dia kembali dilantik pada 22 Desember 1972 untuk periode kedua.

Tanaka yang lahir di Nishiyama, 4 Mei 1918, terpaksa meletakkan jabatan di bulan November 1974 setelah perselingkuhannya dengan Aki Sakato terbongkar. Sakato adalah bendahara kelompok Etsuzankai yang merupakan basis pendukung Tanaka.

Tanaka juga pernah diberitakan majalah Bungei Shunju sebagai politisi yang gemar bercengkerama dengan geisha. Selain itu, dia juga disebut terlibat dalam sejumlah kasus jual beli tanah di Tokyo.

Tanaka Kakuei yang meninggal dunia di Minato, 16 Desember 1993, pun pernah jadi masalah di Indonesia.

Di bulan Januari 1974, Tanaka berkunjung ke Jakarta. Kehadirannya disambut gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang begitu besar di ibukota. Kejadian ini kelak dikenal sebagai Peristiwa 15 Januari atau Malari.

Foreign Corrupt Practices Act terbilang efektif untuk menjerat penyuapan yang dilakukan perusahaan AS terhadap pejabat-pejabat di negara asing tempat perusahaan itu beroperasi.

Mantan anggota DPR dari Fraksi Demokrat, William J. Jefferson pada tahun 2009 dijatuhi hukuman karena terbukti menyuap pejabat di sejumlah negara di Afrika, seperti Nigeria dan Ghana.  

Hewlett Packard Company di tahun 2010 dijatuhi hukuman karena terbukti menyuap Jaksa Agung Rusia untuk memenangkan kontrak senilai 35 juta dolar AS.

Di tahun 2011, News Coporation, perusahaan media multinasional AS, terbukti menyuap pejabat polisi Inggris.

Foreign Corrupt Practices Act juga digunakan dalam kasus penyuapan yang dilakukan Walmart kepada pejabat Meksiko di tahun 2005.

Perusahan-perusahan AS lain yang juga pernah dijerat dengan UU ini antara lain adalah Avon Products, Invision Technologies, BAE System, Baker Hughes, Daimler AG, Monsanto, Haliburton, Titan Corporation, Triton Energy Limited, dan Lucent Technologies.

***
Suatu hari di tahun 2001. Menteri Keuangan Rizal Ramli sedang berkunjung ke New York, Amerika Serikat.

Saat memasuki lobi hotel tempatnya menginap, Rizal dihampiri seorang pria bule yang memperkenalkan diri sebagai James Robert Moffett, CEO Freeport-McMoRan ketika itu.

Sambil berbisik, Moffett mengatakan sudah lama ingin berkenalan dengan Rizal Ramli. Dia mengirim stafnya ke kantor Rizal di Jakarta, namun tak pernah diberi kesempatan untuk bertemu.

Rizal Ramli memperlihatkan sikap tak begitu memperhatikan. Tapi baginya sungguh ini seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Rizal sudah lama ingin membuat perhitungan pada Freeport-McMoRan.

Rizal mencium ada yang tidak beres dalam perpanjangan Kontrak Karya PTFI di tahun 1991. Seharusnya, hak Freeport Indonesia mengelola tambang emas di Papua berdasarkan KK yang ditandatangani tahun 1967 berakhir 30 tahun kemudian, atau di tahun 1997. Tetapi enam tahun sebelum itu, pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak karya di tahun 1991. Inilah yang fishy.

Rizal yakin, Foreign Corrupt Practices Act bisa digunakan untuk menjerat Freeport-McMoRan. Tapi dia masih harus membicarakan ini dengan Presiden Abdurrahman Wahid.

Malam harinya, Rizal menghadiri sebuah jamuan makan malam dengan komunitas bisnis dan dagang kedua negara. Sebelum ia tiba di lokasi gala dinner, penyelenggara sudah mengatur sedemikian rupa agar kursi yang diduduki Moffett ada di sebelah kursi Rizal.

Dalam kesempatan kedua ini, Moffett menyampaikan keinginannya untuk membicarakan operasional Freeport Indonesia di Papua.

“Kelihatannya dia sudah merasa cepat atau lambat kami akan mempersoalkan KK Freeport Indonesia,” ujar Rizal ketika kembali menceritakan pertemuannya dengan Moffett, Rabu siang (3/1) di kawasan Kemang, Jakarta.

Kisah ini sebenarnya sudah sering disampaikan Rizal Ramli, baik kepada media massa, maupun melalui akun Twitter miliknya.

Akhir Desember 2018 lalu, misalnya, menyusul pembayaran 51 persen saham Freeport Indonesia senilai 3,85 miliar dolar AS. PT Inalum (Persero) ditunjuk pemerintah untuk menjadi vehicle “menguasai” saham mayoritas Freeport Indonesia.

Untuk mendapatkan dana segar demi membayar 51 persen saham Freeport Indonesia itu, di bulan November 2018 PT Inalum menawarkan surat utang senilai 4 miliar dolar AS kepada pasar global.

Dengan uang dari surat utang itulah, 51 persen saham Freeport itu dibayar.   

Rizal menyayangkan pembelian dengan cara yang ribet seperti ini. Menurut Rizal, ada cara yang elegan yang lebih efektif dan berdimensi kedaulatan.

Saat dirinya menjabat Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Rizal juga pernah menyampaikan kisah ini.

Di tahun 2015 itu sempat terjadi keributan mengenai saham PT Freeport Indonesia. Publik di Indonesia mengenalnya sebagai “Skandal Papa Minta Saham”, melibatkan antara lain Menteri ESDM ketika itu Sudirman Said, Menkopolhukam ketika itu Luhut B. Pandjaitan, Ketua DPR RI ketika itu Setya Novanto dan pengusaha migas M. Riza Chalid.  

Walau sudah sering menceritakan hal itu, tetapi  rasanya baru kini Rizal Ramli secara gamblang menjelaskan hal apa yang menginspirasi dirinya sehingga berani menggunakan jurus kepret untuk menaklukkan Freeport.

Inspirasi itu adalah: UU Anti Penyuapan Pejabat Asing.
 
Kembali ke Rizal Ramli yang sedang didekati oleh Moffett dalam sebuah gala dinner di New York tahun 2001.

Setelah mendengarkan keinginan Moffett membicarakan kembali soal operasional Freeport Indonesia, Rizal mengatakan dirinya akan melaporkan pertemuan malam itu kepada Presiden Abdurrahman Wahid di Jakarta.

“Nanti kami akan mengundang Anda ke Jakarta,” kata Rizal di penghujung makan malam.

Begitu tiba di Jakarta, salah satu hal pertama yang disampaikan Rizal Ramli kepada Gus Dur adalah soal pertemuan singkat dengan Moffett.

Setelah mendengarkan laporan Rizal, Gus Dur menginstruksikan agar Rizal melanjutkan pembicaraan dengan Freeport. Tim kecil yang dipimpin Rizal terdiri dari Menteri Luar Negeri Alwi Shihab dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, serta Penasihat Menko Ekuin Arif Arryman yang adalah teman lamanya, sebagai sekretaris.

Dalam korespondensi saat mengatur pertemuan,  Moffett meminta agar pertemuan dilakukan tertutup di sebuah hotel yang sederhana, jauh dari penciuman publik.

Rizal menduga, Moffett tak mau publik mengetahui Freeport bertemu dengan pemerintah Indonesia untuk menegosiasikan kembali KK. Kalau pertemuan itu diketahui media, harga saham Freeport bisa jatuh.

Pertemuan dilakukan di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan. Rizal didampingi anggota tim, Alwi Shihab dan Purnomo Yusgiantoro, serta sekretaris tim Arif Arryman.

Moffett datang bersama direksi Freeport-McMoRan Adrianto Machribie Reksohadiprodjo.

Sebelum memulai pembicaraan, Rizal meminta agar Moffett mempersilakan Adrianto Machribie menunggu di luar ruangan. Moffett setuju, dan mempersilakan Adrianto Machribie meninggalkan ruangan.

Adrianto Machribie adalah tokoh lama di Freeport. Dia juga pernah menjadi Presiden Direktur PT Media Televisi Indonesia atau Metro TV.

Setelah PT Inalum (Persero) membayar 51 persen saham Freeport Indonesia senilai 3,85 miliar dolar AS, pada 21 Desember 2018, Adrianto Machribie ikut duduk dalam jajaran komisaris bersama CEO Freeport-McMoran kini, Richard Carl Adkerson, yang menjadi Presiden Komisaris. Selain mereka jajaran komisaris Freeport Indonesia juga diisi oleh mantan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, Dirut PT Inalum Budi Gunadi Sadikin, juga Hinsa Siburian dan Kathleen Lynne Quirk.

Sementara di jajaran direksi, Clayton Allen Wenas alias Tony Wenas dipercaya sebagai Dirut, didampingi Orias Petrus Moedak dari PT Inalum sebagai Wakil Direktur Utama. Lalu ada empat direktur yakni Jenpino Ngabdi, Achmad Ardianto, Robert Charles Schroeder, dan Mark Jerome Johnson.

Setelah Adrianto Machribie meninggalkan ruangan, Moffett mengeluarkan tiga lembar kertas kerja, sambil mengatakan, pihaknya bersedia membayar pemerintah Indonesia sebesar 3 miliar dolar AS dengan syarat: pemerintahan Gus Dur melupakan sejarah panjang Freeport di Indonesia termasuk perpanjangan KK tahun 1991.

Rizal tak mengacuhkan tawaran Moffett. Dia meminta sekretaris tim Arief Arryman menjelaskan perhitungan yang sudah dilakukan tim sebelumnya atas kerugian yang dialami Indonesia.

Setelah Arief Arryman selesai dengan penjelasannya, Rizal Ramli menegaskan bahwa pemerintah Indonesia menuntut Freeport-McMoRan membayar kompensasi sebesar 5 miliar dolar AS.

“Uang kompensasi itu akan kami gunakan untuk Papua,” kata Rizal.

Selain itu, Freeport juga harus bertanggung jawab atas kerusakan alam yang terjadi selama masa eksplorasi. Rizal pun meminta agar royalti atas emas dan tembaga yang dihasilkan dari eksplorasi Freeport dinaikkan senilai royalti yang berlaku di pasar internasional. Hal lain yang diminta Rizal adalah percepatan skema divestasi.

Moffett yang duduk di seberang meja sendirian, seperti mahasiswa yang sedang menghadapi dosen penguji skripsi, sama sekali tidak memberikan perlawanan. Ia tidak keberatan dengan semua yang diminta pemerintah Indonesia itu.

Keputusan disepakati.

Lega dengan hasil pertemuan itu, Moffett berusaha memecahkan ketegangan. Dia mendatangi Rizal yang duduk di seberangnya. Sambil berjongkok, dia menyalami tangan Rizal dan memuji Rizal sebagai pengambil keputusan yang cermat.

Moffett berkata, dia akan mengundang Rizal ke kantor pusat Freeport-McMoRan di Phoenix, Amerika Serikat. Dari situ, Rizal bisa naik pesawat jet pribadinya ke Broadway di New York untuk menonton opera dan konser musik klasik.

Kelihatannya Moffett sudah memeriksa hobi Rizal menonton opera dan konser musik klasik.

Tapi bukannya senang mendengarkan hal-hal yang disampaikan Moffett itu, Rizal justru tersinggung. Di mata Rizal undangan Moffett itu adalah penghinaan. Ini juga bisa jadi delik baru penyuapan yang dilarang keras oleh Foreign Corrupt Practices Act.

“Apakah Anda ingin menyuap saya?” tanya Rizal keras pada Moffett, sambil memukul meja

Moffett tak menyangka Rizal marah. Dia salah tingkah dan kembali minta maaf. Kali ini sambil berjongkok.

Selanjutnya, kita sudah sama-sama mengetahui ujung kisah ini.

Pemerintahan Jokowi, seperti yang sudah disampaikan di atas, akhirnya lebih memilih membayar 51 persen saham Freeport senilai 3,85 miliar dolar AS menggunakan dana yang diperoleh PT Inalum dari surat utang yang dilego ke pasar global. Dan seterusnya. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA