Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Konyol Di Freeport

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Senin, 31 Desember 2018, 13:52 WIB
Konyol Di Freeport
Foto bersama usai penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI)/Net
KONYOL!!! Begitu kata pembuka pesan Whatsapp yang saya terima, Senin pagi (31/13). Tanda serunya tiga. Pesan dikirim ekonom senior Tanah Air menanggapi keputusan pemerintah mengeluarkan 3,85 miliar dolar AS untuk 45,6  persen saham Freeport Indonesia.

Uang setara Rp 56 triliun (kurs 14.557) itu dikeluarkan melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Dengan tujuan, 51,2 persen saham di perusahaan yang mengelola tambang emas terbesar di dunia tersebut dimiliki Indonesia.

Setiap kontrak karya pertambangan yang habis berlakunya wajib dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Kata dia. Sebagai contoh, Blok Mahakam dan Blok Rokan di Riau.

Pengelolaan dua blok itu beralih ke tangan pemerintah seiring habisnya masa kontrak karya. Dua-duanya beralih tangan di era Jokowi. Tanpa perlu membeli saham. Blok Mahakam beralih tangan dari Total E&P tahun 2015, Blok Rokan beralih tangan dari Chevron Pacifik Indonesia tahun 2018.

"Setelah itu hak pengelolaan dua blok itu diberikan pemerintah kepada Pertamina. Itu langkah yang sangat tepat dan bagus," kata ekonom yang menguasai makro dan mikro ekonomi ini.

Soal Freeport seharusnya berlaku pola yang sama. Berdasarkan Kontrak Karya kedua yang ditandatangani tahun 1991, kepemilikan saham Freeport McMoRan di Freeport Indonesia akan berakhir tahun 2021.

Sehingga, untuk menguasainya, tidak perlu membeli sahamnya. Sabar saja menunggu tiga tahun karena 100 persen saham akan dikembalikan secara gratis ke Indonesia?

"Setelah itu baru menunjuk BUMN sebagai kontraktor, bisa bekerjasama dengan Freeport atau Rio Tinto, atau dengan perusahaan lainnya."

Konyolnya lagi, saham Freeport dibeli dengan menggunakan dana dari penerbitan obligasi global. Sangat berisiko tinggi.

Jika dirinci, hitunga-hitungannya, obligasi yang mesti diterbitkan adalah 4 miliar dolar AS dengan bunga rata-rata 5,230 persen sampai 6,767 persen selama 30 tahun.

Cicilan pertama dan kedua yang harus dilunasi pada tahun 2021 dan 2023 masing-masing sebesar 11 miliar dolar AS dan 1,250 miliar dolar AS.

Kalkulasi konyol tidak sampai disitu. Inalum harus menanggung semua kewajiban Freeport Indonesia sebesar nilai penyertaannya, termasuk utang kepada pihak lain.

Termasuk juga menangung kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat kegiatan penambangan yang dilakukan yang jika dinominalkan nilainya hampir empat kali lipat lebih besar dari dana pembelian saham. Audit BPK yang dirilis 19 Maret 2018 menyebutkan setidak-tidaknya kegiatan Freeport merugikan keuangan negara Rp 185 triliun.

"Seharusnya kita tidak konyol soal Freeport," ucap dia menyesalkan.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA