Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Berpotensi Bikin Gaduh, Pengawasan Bongkar Muat BBM Elpiji Bisa Jadi Masalah Nasional

Jumat, 26 Oktober 2018, 19:09 WIB
Berpotensi Bikin Gaduh, Pengawasan Bongkar Muat BBM Elpiji Bisa Jadi Masalah Nasional
Pengamat kebijakan Energi, Sofyano Zakaria/Net
rmol news logo Pengamat kebijakan Energi, Sofyano Zakaria, meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan melakukan pengawasan di lapangan atas setiap kegiatan bongkar/muat Barang Berbahaya dan tidak hanya memungut PNBP.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, diberlakukan adanya pungutan biaya Pengawasan untuk  Bongkar/Muat Barang Berbahaya. Tarif yang ditentukan adalah sebesar Rp 25.000 per kilo gram.

Sementara menurut UU RI nomor 17 tahun 2008 dan IMDG Code, Bahan Bakar Minyak dan Elpiji juga digolongkan sebagai Barang Berbahaya.

Ketika terhadap BBM atau Elpiji dan juga barang berbahaya lainnya dipungut PNBP Pengawasan Bongkar/Muat Barang berbahaya tetapi tidak dilakukan pengawasan bongkar muatnya, maka jelas ini melanggar prinsip dari "pungutan" itu, ujar Sofyano yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, Puskepi.

"Tanpa dilakukannya pengawasan pada setiap kegiatan bongkar muat, maka pungutan itu bisa dimaknai dan berpotensi diplintir sebagai pungutan liar dalam tanda kutip dan ini nanti akhirnya bisa menimbulkan kegaduhan publik apalagi saat ini adalah saat kampanye pilpres," ujar Sofyano di Jakarta, Jumat (26/10).

Terkait hal ini, lanjut Sofyano, Menteri Perhubungan Budi Karya harus memberi perhatian serius terhadap hal ini. Namun, menurut pengamat energi yang juga pendiri Asosiasi Pengamat Energy  ini meragukan ketentuan PP 11 tahun 2015 terkait Pengawasan bisa dilaksanakan secara tegas.

"BBM dan Elpiji yang merupakan barang berbahaya, jika bongkar muatnya harus dilakukan pengawasan sebagaimana ketentuan yang berlaku, maka supply BBM dan elpiji di negeri bisa bermasalah," jelas Sofyano.

Penyebab masalah itu pasti akan terkait dengan jumlah SDM atau aparat Kemenhub yang harus ditugaskan melakukan pengawasan pada tiap kegiatan bongkar/muat barang berbahaya. "Saya yakin hal ini tak mungkin bisa dilaksanakan," lanjut pengamat kebijakan energi ini.

Revisi PP 11


Karenanya, papar Sofyano, pemerintah harus melakukan revisi terhadap PP 11 tahun 2015 khusus terkait pengawasan bongkar/muat barang berbahaya khususnya pada jenis bahan bakar minyak dan elpiji yang merupakan hajat hidup orang banyak.

Revisi terhadap PP 11 tahun 2015 juga diperlukan terkait besaran tarif (biaya) pengawasan bongkar/muat barang berbahaya yang khusus untuk bahan bakar minyak dan elpiji yang dalam PP 11 tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp 25.000 perkilogram juga sangat aneh. "Mosok iya biaya pengawasannya lebih mahal dari harga perliter BBM dan perkilo elpijinya," ucap Sofyano.

Walau akhirnya besaran tarif tersebut ditunda pelaksanaannya dan kemudian ditetapkan hanya Rp10 perliter namun perubahan itu anehnya dilakukan dengan tanpa merevisi Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2015.

"Apakah Peraturan Pemerintah bisa dikoreksi atau dibatalkan oleh keputusan Menteri apalagi Maklumat Dirjen. Ini perlu dipertanyakan keras," tutup Sofyano. [rry]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA