Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi-JK Belum Mampu Dongkrak Peringkat Daya Saing Global Indonesia

Posisi Indonesia Masih Buncit

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 16 Juni 2017, 18:03 WIB
Jokowi-JK Belum Mampu Dongkrak Peringkat Daya Saing Global Indonesia
Ilustrasi/Net
rmol news logo Indonesia perlu bekerja keras dalam memperbaiki daya saing global. Sebab, berdasarkan The 2017 IMD World Competitiveness Yearbook oleh International Institute for Management Development (IMD), sebuah sekolah bisnis terkemuka dunia yang berbasis di Swiss, Indonesia menempati posisi terakhir di antara negara-negara ASEAN yang di kaji dalam Yearbook tersebut.

Begitu dikatakan Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni, dala surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Jumat (16/6).

"Peningkatan peringkat daya saing Indonesia ke rangking 42 dari rangking 48 di tahun 2016, belum mampu mendongkrak negara kita keluar dari posisi buncit di antara negara-negara ASEAN," sambungnya.

Menurut Farouk, peringkat Indonesia sekarang (2017) masih di bawah peringkat kita di tahun 2014 (ranking 37) dan 2013 (39). Di antara negara-negara kawasan ASEAN, Singapura menduduki peringkat tertinggi yaitu berada pada posisi ke-3, disusul Malaysia (24), Thailand (27), serta Filipina di posisi ke 41 tepat di atas Indonesia (42). Posisi negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya umum-nya juga di atas Indonesia seperti Hong Kong (1), Taiwan (14), New Zealand (16), Tiongkok (18), Australia (21), Jepang (26), dan Korea Selatan (29).  

Dipaparkan Farouk, meski pemerintahan Jokowi-JK terus berupaya melakukan pembenahan di berbagai bidang, nyatanya hasil yang di dapatkan belum cukup untuk mendongkrak rangking ke level tertinggi di tahun 2014 (37), apalagi untuk mengejar Malaysia dan Thailand. Dalam beberapa sub-indikator, daya saing Indonesia tertinggal di banding negara-negara tetangga khusus-nya di area efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.

"Dalam hal efisiensi pemerintahan, persoalan utama Indonesia adalah kerangka institusional, hukum bisnis, dan kerangka sosial. Kerangka institusional yang perlu perbaikan serius adalah penciptaan kerangka regulasi dan birokrasi yang kondusif terhadap bisnis (tidak ribet dan‘complicated’), pemerintahan bersih dan bebas korupsi, dan kepastian hukum,” jelas Farouk.

Dia melanjutkan, kecenderungan di mana terjadi pelemahan KPK di satu sisi dan politisasi KPK di sisi lain semuanya mengirimkan tanda-tanda yang negatif bagi perbaikan daya saing Indonesia di level internasional.

"Kita tidak bisa menganggap remeh kasus seperti kriminalisasi Novel Baswedan ataupun Pansus KPK yang telah di sorot media internasional sebagai satu persoalan korupsi yang serius di Indonesia,” cetus Farouk.

"Untuk memperbaiki daya saing secara signifikan di pemerintahan dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia mutlak memerlukan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman yang bersih, efisien, dan professional yang dapat menegakkan kepastian hukum bagi masyarakat."

Farouk menilai, efisiensi sektor pemerintahan dan bisnis di Indonesia seperti dua sisi mata uang. Kata dia, keduanya perlu di benahi agar arus penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri dapat menjadi semakin besar, sehingga  dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.  

"Tantangan Indonesia adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inlusif (menunjang pemerataan ekonomi). Sumber-sumber daya ekonomi  tidak boleh dinikmati oleh sekelompok orang saja. Pemerintah harus memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan tidak membuat regulasi yang membelenggu dunia usaha,” jelasnya.

Sub-indikator penting terakhir yang perlu di benahi adalah infrastruktur. “Indonesia mempunyai kebutuhan yang kritis terhadap pembangunan infrastruktur, di sub-indikator infrastruktur Indonesia masuk di jajaran terbawah, di peringkat ke 59 dari 63 negara,” jelas Farouk.

"Persoalan  ini membuat peringkat daya saing Indonesia di sektor infrastruktur belum mampu mengimbangi  Malaysia yang berada di peringkat kedua setelah Singapura di negara negara ASEAN. Indonesia di peringkat lima, kalah dari Thailand dan Filipina," papar Farouk sembari menambahkan Indonesia menduduki peringkat 59 dari 63 negara sesuai penilaian IMD. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA