Dimensy.id
Apollo Solar Panel

RUU Pajak Macet Di Tangan Sri Mulyani, Apa Sikap DPR?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fuad-bawazier-5'>FUAD BAWAZIER</a>
OLEH: FUAD BAWAZIER
  • Senin, 15 Mei 2017, 12:40 WIB
RUU Pajak Macet Di Tangan Sri Mulyani, Apa Sikap DPR?
SEMASA Menteri Keuangan masih dijabat Dr. Bambang Brojonegoro, Presiden Jokowi mengirimkan RUU Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai pengganti (bukan sekedar revisi) UU KUP lama yaitu UU No.6 Tahun 1983 yang telah beberapa kali diubah, dan terakhir diubah dengan UU No.16 Tahun 2009.

RUU KUP yang baru ini sebenarnya dimaksudkan untuk diberlakukan efektif mulai 1 Januari 2017, tetapi dengan penggantian Menteri Keuangan kepada Dr.Sri Mulyani, proses pembahasan RUU ini praktis tersendat atau terhenti.

Sudah menjadi opini umum bahwa Menteri keuangan Sri Mulyani belum menyetujui RUU KUP yang baru ini karena salah satu poin terpenting di dalamnya adalah mengubah atau mengeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kementerian keuangan (Kemenkeu) dan selanjutnya menjadi lembaga tersendiri (baru) yang langsung di bawah Presiden.

Alasan formal yang dikumandangkan Menkeu Sri Mulyani untuk menunda pembahasan RUU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bersama DPR ini adalah karena RUU ini belum dilengkapi dengan Naskah Akademik.

Jadi, kalau alasan tersebut jujur, semestinya sebagai bawahan Presiden yang baik dan bertanggung jawab, Sri Mulyani segera melengkapi berkas RUU KUP tersebut, dengan Naskah akademiknya, bukannya untuk di jadikan senjata menunda-nunda atau menolak pembahasan RUU KUP yang sudah di kirimkan Presiden ke DPR.

Sebenarnya naskah akademik untuk RUU KUP ini juga sudah tidak begitu penting atau di perlukan, mengingat KUP (Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan) ini bukan hal baru tetapi sudah ada sejak zaman pemerintah penjajahan Belanda. Oleh sebab itu, banyak pengamat dan politisi menyayangkan sikap Sri Mulyani yang menggunakan alasan ketiadaan naskah akademik untuk menunda penyelesaian RUU KUP itu.

Perlu dipahami, bahwa hal terpenting yang mendasari Pemerintah membuat RUU KUP baru ini adalah karena Direktorat Jenderal Pajak sudah tidak mampu lagi mengemban tugas yang di pikulnya sehingga target penerimaan pajak tidak tercapai dalam 10 tahun terakhir ini. Dalam tahun 2012, 2013, dan 2014 misalnya, meskipun tidak tercapai tetapi masih diatas 90%. Sedangkan dalam tahun 2015 hanya 81,9% dan tahun 2016 turun lagi hanya 81,4% meskipun sudah tertolong oleh penerimaan dari tax amnesty.

Tax ratio-pun terus menurun, yang semasa Orde Baru bisa mencapai 13 persen, di tahun 2012 sampai 2014 tax ratio hanya sedikit diatas 11 persen, tetapi di tahun 2015 dan 2016 masing-masing hanya 10,7 persen dan 10,3 persen. Diperkirakan dalam tahun 2017 akan menurun lagi. Sementara Presiden Jokowi dalam Nawacita menargetkan tax ratio di tahun 2019 mencapai 16 persen.

Akibat kinerja Ditjen Pajak yang terus melemah ini dan mendasarkan pada realisasi kuartal 1 tahun 2017, diperkirakan realisasi pajak tahun ini akan shortfall alias tekor sekitar Rp 350 triliun, sehingga kembali pada tudingan bahwa APBN Indonesia tetap saja tidak realistis dan tidak kredibel.

Turunnya tingkat pencapaian target pajak dan tax ratio ini diharapkan akan dapat diatasi oleh Lembaga atau Badan, atau Kementerian Penerimaan Pajak yang langsung di bawah, dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR diharapkan segera menyelesaikan RUU KUP yang baru ini sehingga dapat di berlakukan mulai 1Januari 2018. Dalam hal Menteri Keuangan tidak menyanggupi target waktu ini Presiden Jokowi dapat saja menugaskan Menko Perekonomian atau Menteri Bappenas untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan RUU KUP tersebut di DPR. [***]

Penulis adalah mantan Dirjen Pajak

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA