Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keluar Dari Mafia Ternak Sapi ANZone

Selasa, 12 April 2016, 12:12 WIB
INDONESIA pernah menjadi negara eksportir sapi. Catatan Badan Pusat Statistik, Indonesia menjadi  eksportir sapi potong pada tahun 1968 sebanyak 34.541 ekor. Jumlah ini naik menjadi 72.490 ekor pada tahun 1970, dan pada Tahun 1978 adalah tahun terakhir Indonesia mampu mengekspor sapi potong. Jumlahnya hanya 400 ekor saja. Sejak saat itu peternakan rakyat lebih banyak memasok kebutuhan daging dalam negeri saja.

Bahkan keran impor daging dari Australia mulai dibuka. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, Pemerintah akhirnya menandatangani PP Nomor 4 Tahun 2016 pada tanggal 8 Maret 2016. Peraturan pemerintah ini berisi tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

Sebenarnya, PP ini merupakan sebuah keterpaksaan yang mau tidak mau harus diambil oleh Pemerintah. Karena meskipun Indonesia sudah menentukan cita cita kedaulatan pangan, namun untuk masalah sapi dan daging sapi, realita lapangan masih menunjukkan bahwa Indonesia belum siap untuk memiliki kedaulatan daging. Karena setiap tahunnya, kebutuhan daging kita adalah 654.000 Ton, setara dengan 5,45 juta ekor Sapi. Sementara populasi sapi kita hanya 15,5 juta ekor yang terdiri dari 5,5 juta ekor sapi siap potong, 6 juta ekor bakalan, dan 4 juta ekor indukan. Itupun 80 persen populasi sapi adalah milik peternak rakyat yang tidak bisa dipaksa untuk menjual ternaknya sewaktu waktu Negara membutuhkan.

Dengan jumlah populasi di atas, jika dipaksakan untuk memenuhi cita cita kedaulatan daging, tentu sangat bisa, hanya saja dalam tiga tahun, populasi sapi di Indonesia bisa dipastikan punah sama sekali. Karena itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memperbanyak Indukan, dan membuka keran Impor sapi bakalan, juga daging dan karkas dari Negara-negara di Luar Australia untuk menekan harga daging sapi agar tidak terlalu tinggi.

Sebenarnya perdebatan tentang impor sapi atau daging berdasarkan negara (Country based) dan berdasarkan Zona di suatu Negara (Zona Based) ini sudah terjadi sejak lama. Bahkan sampai saat PP nomor 4 Tahun 2016 ini ditandatangani pun pro dan kontra masih terus terjadi.

Sebelum kita menjustifikasi tepat tidaknya PP ini, kita perlu melakukan kajian tentang beberapa hal agar bisa berpikir secara obyektif dan komprehensif. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah Pertama, Penyebab tingginya harga daging. Kedua Kelemahan Country Based. Ketiga Siapa Pemain utama daging, dan Keempat Mengapa harus BUMN/BUMD, Kelima Zona Based bukan berarti Sapi ber-PMK.

Penyebab tingginya harga daging
Terlalu menyederhanakan masalah, jika menganggap tingginya harga daging sapi pada medium 2015 itu hanya sebagai akibat dari pemangkasan kuota Impor. Tahun 2015 memang pemerintah membatasi kuota impor sapi, akan tetapi pembatasan itu sudah dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Berdasarkan kebutuhan daging sapi per kapita yang 2,56 Kg/Tahun, maka kebutuhan daging sapi nasional kita adalah 2,56 x 255.461.700 Jiwa, yakni 654.000 Ton. Sementara berdasarkan data dari Dirjend Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, produksi daging sapi lokal mencapai 523.927 Ton, atau devisit daging sapi sebesar 130.073 Ton.

Namun demikian, Pemerintah pada Tahun 2015 memutuskan untuk mengimpor daging sapi sejumlah 214.690 Ton, dengan perincian 83.260 Ton dalam bentuk daging, dan 131.430 Ton dalam bentuk sapi sejumlah 773.149 ekor.

Dengan perhitungan diatas, logikanya justru harga daging bisa lebih murah, karena stok daging sapi lokal ditambah dengan daging sapi impor jumlahnya berlimpah dan melebihi kebutuhan daging secara nasional. Namun demikian, harga daging di pasaran ternyata tetap tinggi sampai menembus angka diatas 120 ribu/kg.

Perlu diketahui, bahwa penyebab utama tingginya harga daging pada medium 2015 itu bukanlah karena adanya pembatasan impor, tetapi lebih disebabkan oleh permainan mafia” yang menahan daging dan tidak memotong sapinya untuk dijual, serta harga daging dan sapi di Negara Pengimpor yang sudah tinggi, dimana harga sapi hidup di Australia sudah 3,3 USD atau setara dengan Rp. 42.900 (asumsi nilai tukar rupiah 13.000).

Kelemahan Contry Based
Kebijakan impor sapi/daging sapi berdasarkan Country Based memang memberikan proteksi maksimum pada dunia peternakan dalam negeri. Karena semua ternak dari Negara tersebut sudah dinyatakan bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga sapi/daging yang diimpor dari Negara tersebut tidak dihawatirkan menularkan penyakit yang disebut PMK.
Sementara untuk Zona Based, Negara tersebut secara keseluruhan belum dinyatakan bebas PMK, hanya saja di bagian-bagian atau provinsi-provinsi tertentu sudah bebas PMK. Sehingga wajar, jika banyak pihak yang merasa khawatir kalau ternak/daging yang diimpor berdasarkan Zona Based itu akan menularkan PMK pada ternak mereka.

Namun perlu disadari, bahwa meskipun berdasarkan Zona Based, PP Nomor 4 Tahun 2016 tetaplah menentukan syarat syarat tertentu, sehingga sapi/daging sapi yang akan diimpor tetap harus dinyatakan bebas PMK dan dari Zona yang dinyatakan bebas PMK, sehingga tetap memberikan proteksi maksimum terhadap ternak dalam negeri.

Keputusan penggunaan Zona Based ini sangat diperlukan, karena jika masih menggunakan system Country Based, maka kebutuhan sapi atau daging sapi di Indonesia akan terus bergantung pada Australia dan New Zealand, sebab dari beberapa negara Country Based, hanya Australia dan New Zealand lah yang lebih dekat dan memungkinkan untuk mengekspor sapinya ke Indonesia. Sementara Negara lainnya, disamping secara geografis jauh letaknya, Negara Negara tersebut juga tidak memiliki populasi sapi yang cukup untuk mengekspor ke Indonesia dalam skala cukup besar.

Jika masih menggunakan country based, maka seberapapun banyak keran impor sapi/daging sapi dibuka, tetap saja harganya akan mahal, karena sapi hidup di Australia dan New Zealand harganya sudah diatas 3,3 USD. Sementara harga daging sapi normalnya adalah 3 (tiga) kali lipat dari harga sapi hidup, atau 9,9 USD atau Rp. 128.700,-/kg (asumsi dolar Rp. 13.000,-). Sementara harga sapi hidup di Negara-negara Zona Based seperti India adalah 2 USD, maka harga dagingnya 6 USD atau Rp. 78.000,-.

Pemain Utama Daging
Kalau kita cermati, sebenarnya yang dirugikan dalam PP Nomor 4 Tahun 2016 itu bukanlah peternak rakyat, melainkan perusahaan perusahaan besar peternakan dan importir yang berkiblat pada Australia sebagai pemain utama bisnis daging selama ini. Merekalah yang selama ini memiliki kekuatan untuk mengatur stok, harga, dan distribusi daging sapi.

Peternak rakyat tidak terkena dampak negatif dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini, karena selama ini, harga sapi hidup di peternak rakyat masih pada kisaran Rp. 26.000,- s/d Rp. 29.000,-/Kg. Oleh karena itu, pada saat sapi dari NTT masuk ke Jakarta, harga daging sapi NTT dibanderol Rp. 85.000,- dan ini langsung berdampak pada perusahaan perusahaan sapi atau daging sapi yang bermadzhab Australia menahan daging serta membiarkan ternaknya untuk tidak dipotong.

Ini sebuah fakta lapangan yang tidak bisa dibantah, bahwa tingginya harga daging yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh kelangkaan stok, atau pembatasan kuota impor. Tetapi harga daging sapi kita selama ini ditentukan oleh Australia, dimana tinggi dan rendahnya harga daging di Indonesia, sangat bergantung pada tinggi dan rendahnya harga daging di Australia sebagai pemain utamanya.

Mengapa Harus BUMN/BUMD
Dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa yang berhak untuk melakukan impor hanyalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sehingga tidak akan mengganggu produksi sapi lokal. Selama ini, impor sapi dan daging sepenuhnya diserahkan kepada pasar bebas, pemerintah hanya menetapkan kuota saja. Selebihnya belanja impor dan penjualan sapi serta dagingnya mutlak dikuasai oleh pasar.

Itulah sebabnya mengapa dari dulu pemerintah tidak pernah tahu dengan pasti berapa stok yang tersedia, disimpan dimana, kapan dipotong, kapan didistribusikan, dan berapa harganya, semuanya berada dibawah kekuasaan pasar, dalam hal ini adalah mafia dan kartel. Kondisi seperti ini hanya menjadikan pemerintah sebagai penetap kuota saja, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi dan stabilisasi harga.

Karena itu, PP Nomor 4 Tahun 2016 yang hanya memberikan hak impor kepada BUMN dan BUMD adalah langkah tepat yang diambil oleh Pemerintah, agar Negara memiliki kekuatan yang besar untuk melakukan intervensi pasar, menjamin stok, mengatur distribusi, dan menstabilkan harga pangan.

Jika pengusaha daging, pengusaha penggemukan, dan pengusaha rumah potong hewan membutuhkan stok, biar mereka belanja pada BUMN atau BUMD. Dengan cara ini, mafia dan kartel tidak bisa lagi mengendalikan harga pangan semau mereka.

Zona Based bukan berarti Positif Terjangkit PMK
Disamping alasan tidak berpengaruhnya PP ini terhadap penurunan harga daging, Alasan lain bagi yang menentang PP ini adalah adanya kekhawatiran bahwa dengan diberlakukannya impor sapi/daging berdasarkan zona based akan menyebabkan ternak ruminansia dalam negeri terserang atau tertular penyakit mulut dan kuku (PMK).

Perlu difahami bahwa PP ini hanya membolehkan impor berdasarkan Zona, tetapi tidak membolehkan impor sapi atau daging dari sapi yang terserang PMK. Zona dalam PP ini adalah Zona yang sudah dinyatakan bebas PMK dan sapi yang sudah dipastikan bebas PMK, meskipun zona tersebut berada dalam sebuah Negara yang belum dinyatakan bebas PMK. Namun demikian, untuk tetap bisa memberikan maximum proteksi terhadap konsumen dan ternak ruminansia dalam Negeri, pelaksanaan PP ini harus dikawal sedemikian rupa, mulai dari memastikan kesehatan dan keamanan ternak/daging sebelum di impor sampai setelah masuk ke Indonesia. Sehingga sapi ataupun daging sapi yang diimpor dari Zona Based ini benar benar aman dan tidak berbahaya bagi konsumen serta ternak Ruminansia dalam Negeri.

Kalau mencermati paparan diatas, PP Nomor 4 Tahun 2016 ini, bukan hanya perlu dan penting untuk ketahanan pangan di Indonesia. Tetapi, ini juga merupakan langkah tepat dan tindakan berani Presiden Jokowi untuk melepas ketergantungan Indonesia dari sapi atau daging sapi Australia yang selama ini sangat menentukan tinggi dan rendahnya harga daging sapi di Indonesia. Salam Ketahanan Pangan.[***]



Gidion Wijaya Ketaren
Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan
Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA